Berkah Ampas Biogas bagi Kebun-Kebun Kampung Areng
Ada yang berbeda dengan Kampung Areng pada penghujung tahun lalu. Selain menanti datangnya Tahun Baru, para warga juga menyambut kehadiran Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan, beserta rombongan dari Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral, Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah, Dinas Peternakan, musyawarah pimpinan kecamatan, serta media.
Sejak September 2011 hingga Desember 2011, kampung ini memang kerap menjadi areal kunjungan. Mulai dari hadirnya Dinas Peternakan Propinsi Jawa Barat dan Sulawesi Tengah, kemudian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Peserta Workshop Internasional Biogas, Stasiun TVRI Bandung, hingga peternak-peternak dari luar kampung.
Apa gerangan yang membuat kampung yang terletak di Desa Cibodas, Kecamatan Lembang, Jawa Barat, ini begitu istimewa sehingga menarik perhatian banyak pihak?
Selain tanahnya subur dan masyarakatnya ramah-tamah, Kampung Areng yang mayoritas penduduknya berternak sapi perah serta bertani sayur-mayur ini ternyata juga mulai terkenal sebagai kampung energi. Cerita-cerita sukses pemanfaatan biogas di Kampung Areng perlahan tapi pasti menarik pihak-pihak dari luar untuk datang dan melakukan penelitian.
Di banyak rumah sudah terpasang reaktor biogas model fixdome (kubar coran beton) untuk kebutuhan memasak. Beberapa di antaranya sudah pula memasang lampu biogas untuk penerangan di sekitar kandang sapi. Yang paling menarik, keluaran dari reaktor biogas berupa ampas biogas (bio slurry) menjadi primadona bagi mereka yang memiliki lahan pertanian.
Ampas biogas tersebut mereka manfaatkan untuk pupuk, sehingga mengurangi biaya produksi pertanian. Sebelumnya sebagian besar kebutuhan campuran pupuk kandang dipenuhi dari luar, misalnya kotoran ayam yang nantinya dipadukan dengan kotoran sapi segar. Kini kebanyakan kebutuhan bahan campuran bisa mereka penuhi dari hasil keluaran reaktor biogas.
Ada banyak cara memanfaatkan ampas biogas sebelum digunakan di lahan pertanian. Pak Enan, misalnya, menggunakan ampas biogas sebagai starter untuk pembuatan kompos yang dicampur dengan kotoran sapi segar, hijauan sisa pakan, serta gabah. Pencampuran dilakukan Pak Enan karena kebutuhan lahan pertaniannya akan pupuk alami cukup besar. Pupuk organik dari kotoran sapi segar dan ampas biogas ini beliau aplikasikan pada media pembibitan cabe rawit, selada, kembang kol, brokoli, sawi, dan lain sebaginya.
“Sebelum ada reaktor biogas, pengomposan kotoran sapi memakan waktu sekitar dua bulan baru bisa dimanfaatkan untuk memupuk kebun sayur. Ampas biogas ternyata dapat mempercepat waktu pengomposan,” ungkap Enan. “Biaya produksi bisa ditekan, hasil panen pun sangat memuaskan. Kini saya jadi rajin mengelola ampas biogas untuk persiapan musim tanam selanjutnya.”
Seperti Pak Enan, beberapa petani lain di kampung Areng juga melakukan hal yang sama. Ibu Eti memperlakukan ampas biogas sebagai bahan campuran kompos dengan cara berbeda: Ia memadukannya dengan cacing merah (Lumbricus sp).
Pengolahan semacam ini ia dasarkan pada pengalaman. Ia pernah menemukan ribuan cacing merah dalam tumpukan kotoran sapi yang ditumpuk di sekitar kandang. Ibu Eti lantas coba-coba mengolah ampas biogas dengan mencapurkan cacing merah. Hasilnya adalah pupuk yang lebih berkualitas.
“Ampas biogas plus cacing ternyata lebih baik. Proses pengeringan ampas biogas basah juga lebih cepat. Cacing biasanya berkumpul di ampas biogas yang basah, mengeringkannya, lalu meninggalkan bagian yang kering. Nah, ampas biogas yg kering ini bisa dikumpulkan, tidak bercampur lagi dengan cacing. Lebih mudah dalam pengerjaan, lebih halus pupuknya, dan kualitasnya lebih bagus,” jelas Eti.
Percobaan membuat pupuk dari ampas biogas ditambah cacing untuk pertama kalinya ia manfaatkan pada kebun cabe rawit lokal jenis domba. Keadaan kebun cabe katikan miliknya yang berusia tiga bulan pernah begitu memprihatinkan. Pertumbuhannya kerdil dengan daun yang menguning bahkan rontok, sehingga ia terancam gagal panen. Pada saat itulah Ibu Eti memberikan pupuk dari ampas biogas dan cacing merah pada tiap tanaman. Alhasil sebulan kemudian keadaan cabe-cabe tersebut membaik, dengan percabangan yang banyak serta berbuah lebat.
Sejak itu Bu Eti terus menggunakan kompos serupa. Ampas biogas yang diolah dengan cacing beliau berikan juga pada tanaman bawang daun di sekitar halaman rumahnya. Tanaman-tanaman dalam polibag tersebut pun jadi sangat subur. Hal ini turut menyakinkan orang-orang di lingkungannya bahwa pupuk bercampur ampas biogas baik bagi lahan-lahan pertanian.
Melihat potensi-potensi yang ada, selain ideal untuk dijadikan kawasan agrobisnis, Kampung Areng juga dapat dikembangkan sebagai daerah tujuan agrowisata berbasis pendidikan. Warga Kampung Areng patut berbangga hati; kehadiran reaktor biogas rumahan tak hanya ikut membantu sektor pertanian di kampung mereka, tapi juga menjadi bahan pembelajaran bagi masyarakat Jawa Barat yang lain serta bagi tamu-tamu nasional dan internasional yang berkunjung ke sana.
(Deni Suharyono, BPEO Jabar)