Biogas Rumah yang Murah dan Ramah
Oleh: Musyawir
Pasuruan – Endang Hariyanto, seorang ibu rumah tangga di Desa Gendro, Kecamatan Tutur (Nongkojajar), Kabupaten Pasuruan, merasa tenang setelah menggunakan energi alternatif biogas untuk keperluan memasak, lampu penerangan, serta pemanas air di rumahnya.
Endang juga menyebutkan penggunaan biogas juga mampu menekan biaya kebutuhan hidup sehari-hari, terutama biaya rutin untuk membeli minyak tanah atau gas elpiji yang berkisar antara Rp 350 ribu hingga Rp 400 ribu per bulan.
“Namun yang tidak ternilai harganya adalah perasaan tenang, karena penggunaan biogas jauh lebih aman dibanding dengan gas-gas yang lainnya,” katanya.
Ia mengungkapkan sejak menggunakan energi alternatif biogas tidak lagi dibayang-bayangi rasa was-was, karena meski sifat biogas mudah terbakar, jika terjadi kebocoran tidak sampai menimbulkan ledakan.
Penggunaan biogas, kata Endang, juga berdampak menimbulkan lingkungan yang ramah. Sisa kotoran reaktor biogas (bio-slurry) bisa digunakan sebagai bahan baku pupuk organik.
Ia mengatakan bio-slurry yang dihasilkan dari reaktor biogas di rumahnya digunakan memupuk tanaman cabe paprika setelah melalui proses fermentasi terlebih dulu. Bio-slurry sangat baik digunakan sebagai media tanam cabe paprika, sehingga bisa menghemat penggunaan pupuk sekitar 20 persen.
Endang Hariyanto merupakan salah satu warga dari 1.215 rumah tangga yang telah menggunakan energi alternatif biogas di wilayah Kecamatan Tutur atau yang lebih dikenal dengan sebutan Nongkojajar.
Di Nongkojajar yang mempunyai populasi ternak sapi perah sebanyak 17.765 ekor dengan potensi produksi kotoran sapi perah sekitar 20 kilogram per ekor per hari telah dimanfaatkan biogasnya lewat 883 unit reaktor biogas berskala rumah tangga.
Reaktor Biogas
Sekretris Koperasi Peternak Sapi Perah (KPSP) “Setia Kawan” Nongkojajar, Hariyanto yang juga sebagai penanggung jawab pengembangan biogas menyebutkan, hingga Desember 2012 mendatang KPSP Setia Kawan yang mendampingi peternak telah menargetkan pembuatan reaktor biogas sebanyak 1.250 unit.
Disebutkannya setiap unit reaktor biogas bisa dimanfaatkan sedikitnya untuk keperluan antara 4-5 orang. Pembuatan reaktor biogas di Nongkojajar dilakukan secara kemitraan dengan berbagai fihak seperti LSM Hivos, BNI Syariah Malang, Bank Syariah Mandiri Malang, BLH Kabupaten Pasuruan, PT. Nestle Indonesia dan Perhutani Pasuruan.
Limbah kotoran sapi yang telah diambil gasnya (bio-slurry) yang jumlahnya melimpah di Nongkojajar dimanfaatkan untuk pupuk organik yang sangat dibutuhkan para petani maupun peternak sebagai pupuk tanaman.
Diantaranya bunga krisan, cabe paprika, apel, tebu, pembibitan pohon keras, serta rumput Setia, yakni rumput jenis gajah yang daunnya halus tak berbulu dan disukai sapi.
Dengan melimpahnya produk pupuk organik juga berdampak pada pelestarian lingkungan dan peningkatan pendapatan peternak maupun petani.
Melalui ketersediaan energi alternatif biogas tersebut , warga juga tidak lagi menebang tanaman keras untuk kayu bakar, sehingga berdampak pula pada pelestarian sumber air yang juga sangat dibutuhkan peternak dalam memelihara sapi perahnya.
Disebutkan, setiap ekor sapi perah setiap harinya membutuhkan air antara 80 hingga 150 liter.Sementara dari 150 sumber air yang ada sekitar separuhnya sempat kering.
Namun setelah adanya pengembangan energi alternatif biogas yang berdampak pada pelestarian lingkungan, kini banyak sumber air di Nongkojajar yang sempat mati telah kembali mengalirkan air lagi.
Provincial Coordinator-East Java Indonesia Domestic Biogas Programme, Wasis sasmito menyebutkan, biogas rumah (Biru) telah dibangun sebanyak 3.896 unit reaktor di 45 kecamatan di 12 kota dan kabupaten di Jawa Timur, diantaranya Trenggalek, Blitar, Batu, Mojokerto, Pasuruan, Probolinggo, sampai Lumajang.
Wasis Sasmito menyebutkan secara nasional potensi biogas yang tersedia bisa dibangun sedikitnya 1 juta unit reaktor. Namun realitanya kini baru terbangun sekitar 10 ribu reaktor biogas skala rumah tangga.
“Padahal biogas bisa dikembangkan menjadi sebuah usaha baru,” kata Wasis Sasmito.
Namun sementara ini, kata Wasis, pembangunan reaktor biogas masih merupakan usaha untuk mencukupi kebutuhan enegri skala rumah tangga. Unit reaktor biogas diminiati rumah tangga peteranak karena mamp[u menurunkan biaya hidup.
Penggunaan biogas sebagai energi alternatif mampu menurunkan kebutuhan bahan bakar minyak atau bahan bakar kayu sebuah keluarga antara Rp 350 ribu hingga Rp 400 ribu per bulan.Setiap 1 kilogram kotoran sapi yang telah diproses dalam reaktor bisa menghasilkan sekitar 37 liter gas.
setiap 1 unit rekator minimal bisa untuk mencukupi kebutuhan gas sebuah keluarga yang beranggotakan antara 4-5 orang. Namun setiap reaktor bisa dibangun lebih besar lagi tergantung volumenya.
Di Nongkojajar setidaknya ada lima tipe reaktor biogas, yakni volume 4 meter kubik, 6 meter kubik, 8 meter kubik, 10 meter kubik, dan 12 meter kubik.
Untuk tipe terkecil, yakni volume 4 meter kubik setidaknya membutuhkan bahan baku kotoran sapi antara 2-3 ekor. Sedangkan yang terbesar, yakni volume 12 meter kubik membutuhkan bahan baku kotoran sapi sebanyak 6 ekor.
Dijelaskan, biaya pembangunan setiap unit reaktor biogas membutuhkan biaya setara biaya kebutuhan gas elpiji 3 kilogram selama tiga tahun. Namun usia unit reaktor biogas yang terbangun usianya mampu mencapai sekitar 20 tahun.
Wasis mengungkapkan, peternak di Nongkojajar kini lebih banyak membangun reaktor biogas ukuran volume 6 meter kubik keatas. Disebutkan, pembangunan unit reaktor biogas dengan volume 6 meter kubik biayanya sebesar Rp 6,5 juta.
Untuk ukuran volume 8 meter kubik sebesar Rp 7,5 juta,ukuran volume 10 meter kubik sebesar Rp 9 juta, dan ukuran volume 12 meter kubik sebesar Rp 11.5 juta. Dari total biaya pembangunan rekator biogas peternak mendapat subsidi Rp 2 juta setiap unitnya, sedangkan kekurangannya dibantu lewat kredit perbankan yang dicicil peternak dalam jangka waktu panjang.
Pemanfaatan reaktor biogas juga menurunkan biaya budidaya pertanian. Sisa kotoran sapi yang keluar dari reaktor biogas (bio-slurry) bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku pupuk organik setelah melalui proses fermentasi. Disebutkan, setiap seribu meter lahan pertanian hanya membutuhkan sekitar seratus liter bio-slurry saja, atau setara nominal Rp 125 ribu.
Artinya pemanfaatan biogas rumah yang potensinya di Indonesia sangat melimpah biayanya relatif sangat murah, dan hasilnya juga ramah lingkungan. (*)
Sumber: www.antarajatim.com