Menyebarkan Kisah Tentang Biogas di Sumberbulu
Banyak rumah di Sumberbulu, sebuah dusun kecil di Desa Village, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah memiliki desain pagar rumah yang serupa, sampai ke warna putih-birunya. Rumahnya sendiri tampak sangat mirip, dengan teras lebar dan halaman depan. Sebagai tambahan, kebanyakan orang memiliki dua hal yang sama: sawah dan ternak.
Paimin Patmo Wiyono dulunya memiliki tiga ekor sapi. Sekitar empat bulan yang lalu, ia menjual salah satu ternak miliknya agar bisa membangun reaktor biogas berukuran enam meter kubik di belakang kandang sapinya.
“Istri saya tadinya menolak. Dia bilang kami perlu sapi itu untuk mempersiapkan diri untuk keperluan di masa mendatang,” kata Paimin, seraya melirik sang istri. “Tapi saya bilang sama dia bahwa kita butuh reaktor biogas. Saya setiap hari bertambah tua, memberi makan ternak itu pekerjaan yang berat, dan suatu saat nanti, tidak ada lagi kayu bakar yang bisa dikumpulkan untuk memasak.”
Paimin sendiri harus datang ke pertemuan desa tempat ia mendengar sendiri manfaat biogas sebelum akhirnya yakin bahwa biogaslah yang dibutuhkan oleh keluarganya yang beranggotakan tujuh orang itu. Fakta bahwa ampas biogas yang disebut bio-slurry dapat digunakan sebagai pupuk organik lebih membuatnya yakin. Ia mencoba menyemprotkan campuran bio-slurry dan air ke sawah, namun serat-serat di campuran bahan itu membuat semprotannya mampat.
“Saya akan mencoba mengeringkannya dulu lalu menyemprotkannya nanti. Saya juga diberi tahu bahwa bio-slurry dapat dimasukkan ke karung. Cairan yang menetes dapat digunakan dan dimasukkan ke alat semprot,” kata lelaki 58 tahun itu.
Pipa utama dari kubah reaktor tidak hanya mengalirkan gas ke kompor yang dulu; kompor yang istrinya dulu sangat takut menyalakannya. Karena di rumah mereka sering sekali mati lampu jika turun hujan deras, Paimin memasang lampu biogas di ruang keluarga untuk menyiapkan diri menghadapi musim hujan yang akan datang.
“Setelah saya pasang biogas, banyak tetangga saya yang datang untuk melihat cara kerjanya,” kata Paimin seraya tersenyum bangga.
Banyak orang di Sumberbulu sekarang punya hal lain yang sama: mereka ingin memiliki reaktor biogas. Masalah mereka hanya satu yaitu tidak ada dana yang cukup untuk membangunnya. Satu dari beberapa orang yang baru saja membangun reaktor biogas adalah Tatok Suparno, ayah satu anak, dan seorang pengusaha.
“Saya pernah mendengar bahwa untuk membangun reaktor biogas kita harus siap uang 25 juta rupiah,” kata Tatok yang berumur 31 tahun. “Tapi lalu saya mendengar dari tetangga bahwa membangun biogas bisa jauh lebih murah, dan juga dapat tambahan subsidi dua juta rupiah dari BIRU. Dana total yang dihabiskan untuk membangun reaktor biogas saya sebesar lima juta rupiah lebih sedikit.”
Tatok telah menjadi pengusaha sejak sebelum ia menikah. Ia meneruskan bisnisnya menjual nasi kucing, gorengan, dan beberapa jenis minuman di tenda pinggir jalan setelah Wijiastuti menjadi istrinya lima tahun yang lalu. Menggunakan tiga buah kompor –semua berbahan bakar biogas yang dihasilkan oleh reaktor biogas berukuran delapan meter kubik miliknya– dan satu tungku, pasangan itu menyiapkan makanan beberapa jam sebelum mereka mendirikan tendanya.
“Tungku kayu bakar dipakai untuk memasak nasi karena ketel nasi ini terlalu besar untuk kompor biogas. Kami masih menggunakan elpiji untuk menggoreng dan memasak air di tenda, jadi para pelanggan kami bisa disuguhkan makan dan minuman hangat,” kata Wijiastuti. “Tapi tetap saja, dulu kita mengeluarkan lebih banyak uang. Memasak dengan biogas juga jauh lebih cepat.”
Pasangan itu berharap suatu saat biogas bisa dimasukkan ke dalam tabung, jadi mereka tidak perlu bergantung pada elpiji sama sekali.
Tatok dan Wijiastuti tidak dapat menghitung secara pasti berapa keuntungan yang mereka dapat sejak beralih menggunakan biogas. Meski demikian, Tatok dapat memberi gambaran, “Untuk memasak semua makanan yang kami jual, kami menghabiskan elpiji tiga-kilo yang habis dalam waktu dua hingga tiga hari. Belum lagi kadang-kadang elpiji langka sehingga saya harus mencari cukup jauh menggunakan sepeda motor, sehingga boros bensin.” (Labodalih Sembiring)