Berat Sama Dipikul
Muliati, 37 tahun, tinggal di Dusun Presak, Desa Bonjeruk, Jonggat, Lombok Tengah. Desa Bonjeruk bisa ditempuh kurang lebih 45 menit dengan mengendarai mobil atau motor dari Mataram ke arah selatan. Rumahnya yang sederhana dikelilingi hamparan sawah dan kebun kelapa. Halamannya ditanami pohon naga dan sayur aneka rupa. Untuk sampai di sana kita harus melewati pematang sawah sejauh kira-kira 250 meter dari jalan besar. Bau khas lumpur sawah mengiringi langkah kaki di atas pematang menuju rumah Muliati.
Rumah Muliati bersebelahan dengan kandang sapi. Walaupun demikian lingkungan sekitarnya terlihat bersih. Demikian juga kandang sapinya. “Sejak ada reaktor biogas, kotoran sapi tidak lagi menumpuk di kandang. Setiap pagi kotoran sapi kami masukkan ke dalam reaktor. Kandang menjadi bersih dan tidak berbau,” jelas Muliati. Reaktor biogasnya terletak di samping kandang sapi.
Untuk megoptimalkan fungsi reaktor biogas miliknya, Muliati telah mencoba memupuk tanaman padinya dengan ampas biogas atau bio-slurry. Bio-slurry yang telah kering ditebarkan di sawah saat pengolahan tanah dan setelah padi ditanam. “Bio-slurry sudah tidak berbau dan terasa dingin kalau dipegang. Itu menandakan bio-slurry aman dijadikan pupuk tanaman,” jelas Muliati. Pengetahuan tentang hal tersebut diperoleh dari petugas yang membangun reaktor biogas saat berkunjung ke rumahnya.
Muliati tinggal bersama anaknya yang masih berusia satu tahun dan Abdullah, suaminya. Dollah panggilan akrabnya- bekerja sebagai buruh tani dan operator traktor, yaitu mesin pengolah/pembajak sawah. Saat musim tanam suami Muliati jarang di rumah. Bila sawah yang dibajak jauh dari rumah, maka suaminya menginap di rumah si empunya sawah. Dengan kondisi seperti ini Muliati dituntut bisa mengerjakan sendiri semua urusan di rumah. “Mengurus anak, memasak, mengurus tanaman di sawah sampai mencarikan rumput untuk sapi-sapi peliharaan,” jelas ibu muda ini menguraikan kegiatannya sehari-hari saat suaminya pergi mencari nafkah. “Tapi sejak menggunakan biogas untuk memasak saya memiliki lebih banyak waktu menyapu halaman atau mengurus anak dan pekerjaan lain,” jelas Muliati. Sebelumnya dia menggunakan kayu bakar untuk memasak.
Walau pekerjaan menumpuk, tidak ada keluh kesah yang keluar dari mulutnya. “Sebagai buruh tani, suami saya sering mencari pekerjaan di tempat yang jauh dari rumah. Tentunya saya yang menggantikan mengerjakan segala sesuatu di rumah. Saya terbiasa tidak tergantung pada suami,” kata ibu yang energik ini. Seperti kata pepatah berat sama dipikul, senang susah dihadapi bersama. (M. Ali Ikhsan)