Srikandi Biru Berkiprah, Olah Limbah Jadi Berkah
Solopos – Penampilannya sangat bersahaja seperti
perempuan-perempuan desa pada umumnya. Namun ketika berbincang barulah
kelihatan bahwa sosok perempuan ini memiliki semangat dan energi luar
biasa. (28 Oktober 2012)
“Mari saya antarkan ke salah satu rumah
warga yang telah memasang reaktor biogas di rumahnya,� ujar perempuan
bernama lengkap Tuti Herawati,48, itu kepada Solopos.com, Minggu
(28/10/2012).
Dengan sigap perempuan yang tinggal di Dukuh Saman,
Desa Titang, Kecamatan Jogonalan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah ituÂ
mengayuh sepedanya menuju sebuah rumah yang cukup nyaman di pinggir
jalan desa. Setelah meminta izin kepada pemilik rumah, kami pun menuju
ke bagian belakang rumah yang cukup luas itu.
“Inilah salah satu
reaktor biogas yang kami bangun beberapa waktu lalu. Ini sudah bisa
menghasilkan gas yang bisa langsung dimanfaatkan untuk keperluan
sehari-hari seperti memasak dan untuk lampu penerangan. Kami menyebutnya
reaktor biru atau biogas rumah,� terang perempuan yang akrab disapa
Tutik tersebut.
Reaktor biru tersebut terdiri atas beberapa
komponen antara lain adalah inlet yang merupakan tempat mencampur kohe
(kotoran hewan) dan air. Dijelaskan Tutik, setelah dicampur dengan air,
kohe kemudian dialirkan ke tangki reaktor melalui pipa inlet. Tangki
reaktor merupakan tempat campuran kohe dan air berfermentasi dan bisa
menghasilkan gas. Kemudian gas yang telah dihasilkan akan ditampung ke
dalam kubah untuk dialirkan ke atas melalui pipa utama.
“Untuk
mengubungkan tangki dan outlet ada sebuah kompenan yang namanya manhole.
Sedangkan outlet sendiri merupakan tempat keluarnya gas yang keluar
dari reaktor,� jelas Tutik.
Gas yang keluar dari reactor kemudian
akan disalurkan oleh pipa gas utama yang berfungsi mengalirkan gas dari
reaktor ke rumah. Untuk mengatur aliran gas dipasang juga katup gas
utama.
“Biogas yang telah dialirkan ke rumah bisa digunakan untuk
kompor bisa juga dialirkan ke lampu untuk penerangan,� jelas Tutik
sembari menunjukkan sebuah alat yang disebut manometer. Alat ini
digunakan sebagai indikator banyaknya gas yang telah masuk dalam pipa.
Untuk
menghasilkan gas berkualitas baik atau berwarna biru dipasang sebuah
waterdrain. Water drain itu akan memisahkan air dari gas sehingga gas
yang dihasilkan akan berwarna biru. Api yang keluar dari kompor bila
merah menunjukkan bahwa kandungan air dalam terlalu banyak dan harus
dikurangi.
Di Dukuh Saman sendiri saat ini telah ada sedikitnya 9
reaktor biogas yang telah dibangun yang terdiri atas delapan reaktor
menggunakan kohe dari hewan sapi, satu reaktor menggunakan kohe dari
babi dan satu reaktor dari kohe ayam.
Mungkin biogas yang ada di
Dukuh Saman sudah cukup dikenal masyarakat. Namun ada keistimewaan
tersendiri reaktor biogas di tempat tersebut yang membuatnya spesial
dibanding dengan reaktor-reaktor biogas lainya yaitu pembuat atau orang
dibalik reaktor biogas tersebut adalah para kaum perempuan dan Tutik
salah satunya.
Ya, reaktor-reakor tersebut dibangun oleh
sekelompok ibu-ibu di Dukuh Saman yang menamakan diri sebagai Srikandi
Biru. Kelompok yang terdiri atas delapan perempuan ini dibentuk pada
Februari lalu atas prakarsa dari Kompip (Konsorsium Monitoring
Pemberdayaan Institusi Publik) sebuah lembaga sosial masyarakat (LSM)
yang berada di Solo yang bekerja sama dengan Hivos, sebuah lembaga yang
melabelkan diri sebagai institut kemanusiaan untuk kerja sama
pembangunan. Hivos sendiri merupakan pelaksana program Biru (biogas
rumah) yang dicanangkan selama 4 tahun yang bekerja sama dengan SNV
sebuah lembaga pembangunan di Belanda. Program ini sepenuhnya didanai
oleh Kedutaan Besar Kerajaan Belanda dan diimplementasikan sejak 15 Mei
2009 hingga 31 Desember 2012.
Sementara pembentukan Srikandi di
Dukuh Saman, Desa Titang, Jogonalan, Klaten semula berawal dari
pelatihan pembangunan rumah yang diikuti oleh kaum perempuan di wilayah
tersebut.
“Dulu pascabencana letusan Merapi, sejumlah kaum perempuan
di wilayah kami mendapat pelatihan untuk membangun rumah. Dan kami
berhasil membangun sebuah rumah. Ya semuanya dikerjakan oleh kaum ibu,
mulai dari membuat pondasi, mencampur semen, menata batu bata hingga
menata genteng. Jadi sampai penekan (manjat-red) juga ke atas rumah,�
jelas Tutik yang didaulat sebagai koordinator Srikandi Biru.
Dari
situlah, Kompip melihat kemampuan para kaum perempuan di Dukuh Saman,
sehingga menawarkan mereka ikut dalam program Biru. Namun tidak semua
dari kaum perempuan yang ikut dalam pelatihan membangun rumah bisa masuk
dalam program tersebut. Setelah dilakukan seleksi dari 25 orang
terjaring 8 orang perempuan masuk dalam program biru yang kemudian
menamakan diri sebagai Srikandi Biru.
Dalam mengemban tugasnya
membangun reaktor biogas di desanya, Srikandi Biru selalu berusaha
melakukannya dengan cermat, cepat dan tepat. “Semua komponen-kompenan
dalam reaktor biogas ini telah memiliki ukurannya masing-masing. Jadi
ketika kami membuatnya ya harus sesuai dengan ketentuan itu. Kami tidak
ingin ambil risiko kalau biogasnya nanti gagal berfungsi,� ujar Tutik.
Dari
pengalaman membangun reaktor, menurut ibu dari 3 anak ini, hal yang
paling sulit adalah saat pembuatan kubah. Bahkan dirinya sempat
mengalami kejadian buruk. “Saat saya sedang menyelesaikan pembuatan
kubah, tiba-tiba tanah di atas kubah itu ambles dan mengenai saya. Saya
benar-benar kaget dan takut waktu itu,� kenang Tutik.
Namun
demikian hal tersebut tidak membuatnya trauma atau sampai menyurutkan
niatnya untuk terus membangun lebih banyak reaktor-reaktor biogas di
desanya.
Meski di rumahnya sendiri Tutik tidak memiliki reaktor
biogas karena keterbatasan lahan, dirinya yakin biogas sangat
bermanfaat bagi warga. Biogas menurut Tutik lebih ekonomis dan hemat
karena warga hanya mengeluarkan biaya kurang lebih Rp2 juta sekali saat
pada saat pemasangan reaktor biogas. Sementara jika memakai gas elpiji
warga harus mengeluarkan sedikitnya Rp2,7 juta per tahun dengan asumsi
setiap 2 hari menggunakan tabung gas 5 kg.
Selain itu dengan biogas
ini, warga juga bisa turut menjaga kelestarian dan kesehatan lingkungan.
Sebab warga tidak perlu pusing-pusing lagi untuk membuang kotoran hewan
ternaknya ke saluran air yang bisa mencemari lingkungan. Bukan itu
saja, dari sisa atau residu dari biogas baik yang berupa cairan maupun
ampas, sama-sama bisa dimanfaatkan untuk pupuk tanaman. Bahkan, cairan
sisa proses biogas bisa juga digunakan untuk menyemprot hama tanaman.
Manfaat
biogas ini dirasakan juga oleh Dwi, salah satu warga Dukuh Saman,
pemilik reaktor biogas yang dibangun oleh Srikandi Biru. Semenjak
rumahnya dipasang reaktor biogas, dirinya kini tak perlu repot membeli
gas elpiji bahkan kini persediaan gas untuk keperluan dapur sangat
berlimpah.
Krisis Energi
Aksi para Srikandi dari Dukuh Saman
ini sangat patut ditiru sebelum krisis energi benar-benar menimpa
negeri ini. Apalagi konsumsi energi sampai saat ini masih sangat
mengandalkan bahan bakar fosil, yang semakin mengikis cadangan minyak.
Hal ini tentu bisa menghantarkan Indonesia ke dalam krisis energi.
Dalam
neraca pembayaran Indonesia yang dipublikasikan Bank Indonesia (BI) 11
Mei 2012, tercatat sejak triwulan I-2010 hingga triwulan I-2012, nilai
impor minyak sudah lebih besar daripada nilai ekspor. Sebagai ilustrasi,
pada triwulan I-2012, nilai impor minyak mencapai US$10,127 miliar ,
sementara nilai ekspor minyak kurang dari separo impornya, senilai
US$4,683 miliar.
Meski demikian, kebutuhan masih sangat tinggi.
Dari data Kementerian ESDM menunjukkan, konsumsi energi primer di
seluruh Indonesia sudah berada di level 1.331 juta setara barrel.
Sedangkan di tahun 2025 diperkirakan akan meledak hingga 4.300 juta
setara barrel.
Meningkatnya konsumsi energi di Indonesia
diantaranya disebabkan karena tingginya pertumbuhan jumlah penduduk.
Untuk energi listrik misalnya, di tahun 2011 kebutuhan elektrifikasi di
Indonesia mencapai 36.000 Mega watt atau 36 giga watt. Diperkirakan
nantii, di 2050, akan naik menjadi 450 Giga watt hingga 550 Giga watt.
Jika
konsumsi energi itu hanya dibebankan kepada energi fosil jelas
kebutuhan itu tak mungkin terpenuhi mengingat sumber energi itu semakin
lama akan semakin habis. Ketergantungan kita kepada sumber energi fosil
harus mulai dikurangi. Saatnya kita menggenjot pengembangan dan
penggunaan bermacam sumber energi baru terbarukan atau re¬newable
energy, seperti air, matahari, angin, biodesel dan juga biogas.
Perpres
Nomor 5/2006 sebenarnya memberi kesempatan pengembangan energi
alternatif secara luas. Bahkan secara nasional telah ada kesepakatan
bahwa peran energi baru terbarukan pada tahun 2025 ditetapkan mencapai
17% dan akan ditingkatkan dalam draf terbaru menjadi 25%.
Meski
masih jauh panggang daripada api, target ini bukan hal yang mustahil
terwujud jika semua pihak bersatu padu untuk mencapainya. Pertamina
sendiri pun sudah bertekad akan bertekad menjadi panglimanya seperti
diungkapkan Direktur Pertamina Karen Agustiawan dalam pertemuan APEC
(Asia-Pacific Economic Cooperation) CEO Summit 2012 belum lama ini di
Rusia.
“Indonesia merupakan negara yang memiliki beragam sumber
energi. Sumber-sumber energi itu seyogianya dapat dimanfaatkan tidak
hanya oleh generasi sekarang, tetapi juga harus dapat di-wariskan kepada
generasi yang akan datang. Sebagai bagian dari tanggung jawab itu,
Pertamina berkomitmen mengembangkan energi terbarukan di tengah ancaman
krisis energi dan bahan bakar fosil,� kata Karen waktu itu.
Peran
masyarakat pun juga tak kalah penting. Bangsa ini butuh lebih banyak
lagi Srikandi-Srikandi seperti Tutik dan rekan-rekannya yang sadar
pentingnya energi alternatif. Selain memberi manfaat secara langsung
kepada warga, kiprah mereka juga bisa menyelamatkan dan memberikan
berkah kepada alam dan lingkungan sekitarnya.
(Sumber: http://www.solopos.com/2012/10/28/srikandi-biru-berkiprah-olah-limbah-jadi-berkah-343672)