Mengurangi Kecanduan Pupuk Kimia
Pupuk kimia mulai gencar dipromosikan kepada petani-petani di Indonesia pada era 1970-an sebagai bagian pendukung penyebaran varietas hasil silangan, terutama padi, yang mensyaratkan penggunaan urea untuk penanamannya. Penggunaan pupuk kimia ini terus meningkat dari tahun ke tahun apalagi dengan adanya subsidi. Belakangan, beberapa pihak yang prihatin dengan semakin rusaknya kondisi lahan dan lingkungan sekitar karena penggunaan pupuk kimia yang berlebihan, mencoba menggalakkan kembali sistem pertanian yang lebih ramah lingkungan.
Bardiyo (42) adalah salah satunya. Lelaki berdarah Jawa yang sejak kecil sudah menetap di Lampung ini sekarang sedang berupaya mengurangi penggunaan pupuk kimia pada lahannya. Awalnya, ia mewakili Kelompok Tani Sido Maju untuk mengikuti pelatihan pertanian organik selama 20 hari di Bandar Lampung. Sejak itu ia juga giat mempromosikan penggunaan pupuk non-kimia kepada petani-petani lainnya.
“Tapi petani masih bersikukuh kalau pupuk kimia lebih baik. Sulit mengubah ‘kecanduan’ pupuk kimia ini,” kata Bardiyo ketika ditemui di Desa Rejoagung, Batanghari, Lampung Timur.
Menurut Bardiyo, hal ini juga disebabkan adanya kecenderungan petani saat ini hanya melihat dari hasilnya. Penggunaan pupuk kimia dapat segera dilihat hasilnya dalam hitungan hari. Sedangkan pupuk organik paling cepat saja satu setengah bulan bahkan ada yang bertahun-tahun baru terlihat hasilnya karena terlebih dulu ada proses perbaikan lahan yang terlanjur rusak akibat pupuk kimia.
“Petani inginnya instan, cepat, tapi tidak menanggung risiko dari tanah tersebut,” lanjut Bardiyo. Tapi ini tentu tidak berlaku bagi Bardiyo. Pada Desember 2012, ia pun membangun BIRU ukuran 4 m3 di rumahnya. Ya, ia mengakui keinginannya membangun biogas adalah untuk memanfaatkan bio-slurry-nya secara lebih maksimal.
Dengan tiga sapi yang dimilikinya sebagai penghasil bahan biogas, mulailah Bardiyo merasakan manfaat BIRU. Tentu saja gas yang dihasilkan pun digunakan untuk kebutuhan memasak sehari-hari keluarga Bardiyo, menggantikan sepenuhnya kayu bakar dan 2,5 tabung LPG per bulannya. Dapur lebih bersih dan pengeluaran lebih hemat.
Untuk bio-slurry-nya sendiri, Bardiyo mencobanya dengan langsung menerapkannya pada tanaman padi. Hasil panennya memang sempat turun sebanyak 2 kwintal pada musim tanam pertama dari 3.600 meter persegi lahan yang ia tanami. Saat itu Bardiyo masih menggunakan pupuk kimia tapi sudah dikurangi 50%.
“Ibarat orang, mungkin lahannya kaget karena biasanya 100% kimia,” Bardiyo mengandaikan. Pada musim tanam ketiga, Bardiyo lalu semakin mengurangi penggunaan pupuk kimia hingga hanya 25%. Secara kuantitas, hasilnya memang tidak terlalu signifikan. Tapi Bardiyo mendapatkan keuntungan lain. Pertama, dengan pengurangan pupuk kimia hingga 75% ia sudah berhemat sekitar 3 juta rupiah. Kedua, kualitas padi yang dihasilkan jauh lebih bagus.
“Nasinya kalau dimasak sampai dua setengah hari nggak basi dan rasanya beda,” kata Bardiyo tersenyum. Cita-citanya untuk menyediakan makanan yang lebih sehat bagi keluarganya pun semakin di depan mata.
Pada lahan yang sama di musim tanam jagung, Bardiyo juga mencoba penggunaan bio-slurry dan mengurangi pupuk kimia hingga hanya 20%. Hasil panennya meningkat 1 kwintal.
Bardiyo kemudian semakin menyeriusi pemanfaatan bio-slurry ini dan pada 2013, atas nama Sido Maju Mitra Tani, ia memperkenalkan Metroganik, pupuk dan pestisida yang diolah dengan bahan dasar bio-slurry. Untuk pupuk cair, Bardiyo hanya menambahkan air kelapa dan urin sapi ke dalam slurry cair. Sedangkan untuk pestisida, ia menambahkan daun mimba, daun brotowali dan mahoni serta empon-empon atau akar tanaman yang biasa digunakan sebagai bumbu atau obat tradisional seperti jahe, kunyit, lengkuas.
Hama cabuk yang sering menyerang kacang panjang berkurang hingga 75% berkat pestisida ini. Walaupun tidak bersifat membunuh, pestisida ini sukses mengusir cabuk dan membuat mereka enggan kembali. Gagal panen akibat serangan hama wereng pada tanaman padi juga bisa diantisipasi karena pestisida ini yang mampu mengurangi hama hingga separuhnya.
Dari 40 liter slurry cair yang Bardiyo dapatkan setiap bulan dari reaktor miliknya, setengahnya ia olah menjadi pestisida dan setengah lainnya untuk pupuk cair. Pupuk padat yang mampu ia dapatkan sebanyak 1 kwintal. Rencananya, Bardiyo juga akan memanfaatkan bio-slurry dari reaktor-reaktor lainnya. Ini pernah juga ia lakukan saat mendapatkan pesanan pupuk dalam jumlah banyak. Sejauh ini, Bardiyo baru memasarkan produknya di Lampung Tengah dan Lampung Timur saja. Beruntung, seorang Petugas Penyuluh Lapang (PPL) dari Dinas Pertanian mendukung produknya bahkan membantunya memasarkan melalui jejaring sosial. Dukungan pun diberikan dari pihak akademisi. Universitas Lampung (Unila) telah melakukan uji sampel untuk melihat kandungan di dalam pupuk dan pestisida Metroganik dan kini sedang diujicobakan di lahan milik mereka.
Jika lebih banyak lagi petani seperti Bardiyo dan lebih banyak lagi orang-orang yang mendukung apa yang sedang mereka kerjakan, bukan tidak mustahil jika kecanduan para petani terhadap pupuk kimia bisa segera disembuhkan. Lingkungan sehat, masyarakat pun sehat.