Usaha Rumahan Kerupuk Kulit Biogas di Lombok Tengah
Nusa Tenggara Barat merupakan salah satu wilayah potensial yang dimiliki Indonesia. Tidak hanya pesona alam wisatanya yang indah menawan, wisata kulinernya pun menjadi ciri khas tersendiri. Akan tetapi dibalik itu, diam-diam pertumbuhan usaha rumahannya juga terus bergerak. Program Biogas Rumah (BIRU) yang telah dimulai sejak Agustus 2010 lalu, saat ini terus menggeliat dalam mendukung kemajuan dan kesejahteraan masyarakat Nusa Tenggara Barat.
Dari Kabupaten Lombok Tengah, pertama kali mendengar bahwa ada kompor gas dari kotoran ternak, H. Sahwan (42) langsung tertarik menggunakannya. Ternyata banyak manfaat yang bisa diperoleh dari limbah kotoran ternak. Salah satu penggagasnya adalah program BIRU. Tahun 2014, BIRU dibangun dengan ukuran 12 meter kubik di sekitar rumah H. Sahwan ini. Berlokasi di Praya, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Proses pembangunan berlangsung selama tiga minggu.
Ukuran biogas di lingkungan tersebut dibangun cukup besar karena akan digunakan bersama enam kepala keluarga. Rata-rata tiga sampai lima orang setiap kepala keluarga.
“Rata-rata kami menggunakan untuk memasak setiap hari dan kami tidak perlu membeli elpiji lagi.” ujar H. Sahwan.
Kemudian muncul minat H. Sahwan untuk membangun usaha rumahan. Dengan mengikuti pelatihan membuat kerupuk kulit, ia mendapatkan bahan baku berupa kulit sapi atau kerbau. Sejak saat itu, usaha kerupuk kulit mulai dirintis. Hal ini sesuai dengan profesinya sebagai peternak. Setiap hari paling tidak H. Sahwan menghasilkan kerupuk kulit dari satu ekor sapi melalui pengepul dan dijualnya dengan harga Rp. 20.000,00 ribu per kilogram. Istrinya, Zaetun (32), juga turut serta dalam menjalankan usaha kerupuk kulit ini. Bersama ibu-ibu rumah tangga lainnya, ia membentuk kelompok wanita tani Tunas Ridho yang menjalankan usaha kerupuk kulit. Lokasi tempat tinggalnya menjadi lokasi pengolahan kerupuk kulit sapi.
Dengan menjalankan usaha ini, biogas rumah yang dibangun dari program BIRU bisa bermanfaat dan menguntungkan.
”Yang pertama bila ada sisa-sisa daging yang menempel di kulit sapi, dapat dihilangkan dengan pemanasan dan ini pas sekali dengan panasnya biogas, karena dalam proses ini tidak boleh terlalu panas atau dingin.” ucap H. Sahwan sambil menunjukkan hasil olahan kerupuk kulit sapi. ”Yang kedua pada saat proses perebusan dengan minyak. Bila menggunakan kayu bakar, karena panasnya tidak stabil, maka membutuhkan waktu kira-kira 5-6 jam, tetapi setelah menggunakan biogas, kami hanya membutuhkan waktu kira-kira 3-4 jam saja karena panasnya stabil sehingga matangnya lebih cepat.” lanjutnya.
Biogas Rumah (BIRU) sangat bermanfaat di lingkungan kecamatan ini. Usaha rumahan dengan BIRU mendukung para petani dan peternak karena bahan bakunya sudah ada dari peternak itu sendiri. BIRU membantu menyediakan kebutuhan energi agar dapat mengolahnya lebih hemat waktu dan tenaga sehingga menghasilkan produksi kerupuk kulit yang bisa dijual lebih banyak.
Dahulu H. Sahwan dan keluarga membeli elpiji ukuran 3 kilogram dua minggu sekali dengan pengeluaran Rp. 18.000,- per kilogram. Adanya BIRU, elpiji tidak lagi digunakan. Secara ekonomi, pengeluaran keluarga lebih hemat. Usaha rumah yang dijalankan juga menjadi lebih produktif. Diakui H. Sahwan, dengan menggunakan BIRU, usaha kerupuk kulitya semakin produktif. Penghematan bisa mencapai Rp. 50.000 setiap bulan belum termasuk penghematan dari tidak lagi membeli kayubakar.
Program BIRU masih memiliki peluang sangat besar dalam memberikan manfaat ke tengah-tengah masyarakat Nusa Tenggara Barat. Informasi yang berhasil dihimpun dari H. Sahwan, di lingkungannya saja saat ini terdapat 200 ekor sapi. Jika reaktor BIRU ukuran 4 meter kubik hanya diperlukan 2 ekor sapi, maka potensial 100 reaktor bisa dibangun di wilayah ini. (AA)