Dari Limbah Menjadi Harta Karun: Bagaimana Limbah Industri Tempe Menjadi Sumber Bahan Bakar bagi Indonesia
Warung ini tampak seperti kebanyakan warung-warung lain di Indonesia. Rentengan kopi dan susu kental manis dalam sachet tergantung di atas makanan gorengan di atas meja. Namun, warung yang terletak di Desa Karasgede, Jawa Tengah ini menggunakan biogas sebagai bentuk energi terbarukan untuk menunjang aktivitas keseharian, seperti misalnya memanaskan minuman teh, memasak nasi, dan penerangan lampu.
Warung ini bersama dengan sembilan rumah lain di lingkungan setempat, terhubung oleh jaringan pipa ke satu reaktor biogas berkapasitas 12m3, yang terkubur di bawah perdu tanaman cabai di sekitarnya. Sejak bulan September 2014, ketergantungan masing-masing rumah pada kebutuhan LPG dan kayu bakar pun terhenti.
Reaktor biogas ini tidak hanya mampu mengurangi emisi CO2 hingga 4 ton per tahun, tetapi juga membuat bahan bakar menjadi jauh lebih murah dan hemat untuk dijangkau. Setelah instalasi biogas dibayar lunas, kemudian diperlukan sumber bahan organik yang dipasok dari air limbah yang dihasilkan oleh industri pembuatan tempe setempat.
Penyebaran instalasi biogas dipelopori oleh program BIRU (Biogas Rumah), yang telah menerima dukungan teknis dari organisasi pembangunan asal Belanda, HIVOS dan SNV. Bapak Royani, yang menjabat sebagai direktur pada salah satu mitra program BIRU di Jawa Tengah, menjelaskan awal mula kisah masyarakat pengguna biogas di Desa Karasgede.
“Pak Rikno mengelola usaha pembuatan tempe yang berhasil,” ujar Pak Royani. “Namun, akibat peningkatan jumlah produksi usaha tempe menjadikan semakin banyak air limbah yang dibuang ke sungai dan ladang. Bau yang menusuk menyebar ke seluruh desa, sehingga warga menuntut kepada dewan kelurahan untuk menutup usaha pembuatan tempe tersebut. Dari situlah Program BIRU mengawali keterlibatannya dengan menawarkan solusi untuk mengubah limbah menjadi biogas. Tawaran tersebut mendapat tanggapan positif dari penduduk sekitar, terutama oleh Bapak Rikno dan dewan kelurahan setempat. Kelompok masyarakat bernama Sari Bumi kemudian dibentuk untuk mendampingi proses pemasangan dan pemeliharaannya.”
Bapak Rikno tersenyum sambil bernafas lega karena “bau yang tajam kini tidak ada lagi” oleh produksi usaha tempe miliknya. Ia lalu menjelaskan bahwa,”saya mendapatkan akses energi biogas yang dihasilkan oleh air limbah industri tempe, usaha tempe saya sudah terbilang berhasil, dan saya melihat orang lain lebih memerlukannya dibandingkan dengan saya. Jadi, kami memutuskan untuk membaginya tanpa membebankan biaya kepada para tetangga, yang berjuang untuk mendapatkan sumber bahan bakar untuk keperluan dapurnya.”
Perubahan yang terjadi di desa atas jasa Program BIRU adalah contoh yang menarik yang dapat ditiru di seluruh desa di Indonesia. Hasilnya, Desa Karasgede telah diikutsertakan ke dalam kompetisi untuk kemandirian energi di provinsi Jawa Tengah.
Pak Royani sangat antusias menceritakan tentang potensi biogas di Indonesia, sambil berdiri di samping bengkel kerjanya yang sederhana, dimana ia memproduksi generator listrik, lampu, dan kompor untuk nantinya digunakan pada instalasi biogas.
“Biogas adalah jalan keluar terbaik untuk kesejahteraan di Indonesia,” ujarnya. “Sebagian besar dari kami adalah masyarakat agraris, dan limbah adalah salah satu dari masalah terbesar di negara kami. Polusi mencemari lingkungan, membuat kami sakit, angka kematian bayi tinggi, dan kami tidak mampu membayar tagihan biaya rumah sakit yang mahal. Biogas adalah satu-satunya solusi untuk membersihkan lingkungan, dan di sisi lain menyediakan sumber energi modern yang murah bagi desa-desa secara mandiri.”
Hal inilah yang mendorong keberlanjutan Program BIRU, melalui bantuan dana dari pemerintah asing saat ini telah berhasil untuk membangun lebih dari 16.000 instalasi biogas di sembilan provinsi di Indonesia. Proyek BIRU mempromosikan dan mengajarkan tentang bio-slurry (ampas biogas) sebagai produk sampingan beserta manfaatnya yang beraneka ragam. Seperti misalnya, digunakan sebagai pupuk organik, pakan ikan dan kompos dengan kandungan kaya nutrisi.
Pak Royani mengakhiri pembicaraan seraya merentangkan tangannya ke bukit-bukit hijau di hadapannya berkata,”Pulau Jawa ini dahulu dikenal sebagai salah satu pulau tersubur, apakah akan alangkah sangat indah seandainya para petani dapat berpaling dari bahan kimia dan polusi yang merajalela, serta menyadari kalau mereka dapat mengubah limbah menjadi harta karun?.” (Joshua Parfitt)