Bahkan Jenggot Saya Pun Organik
Kisah tentang Qariyah Thoyyibah, salah satu mitra konstruksi BIRU di Salatiga, Jawa Tengah.
“Saya dahulunya adalah seorang wiraswastawan,” ujar Muchtarum, “Saya berkunjung ke Qariyah Thoyyibah selama bulan Ramadhan untuk bersilaturahmi dengan seorang anggota keluarga, dan mendapat kesempatan setelah rapat. Saya belum memahami pertanian organik sebelumnya. Setelah itu, saya seperti tertular virus.”
Muchtarum adalah salah seorang direktur di Qariyah Thoyyibah. Kantornya terletak di lantai dua di kantor pusat organisasi tersebut di Salatiga, Jawa Tengah dengan pemandangan sawah dan ladang jagung yang mengitarinya. Ada guratan-guratan putih di rambutnya, ia menceritakan kisahnya tanpa ekspresi, dan senyuman sinis di sudut bibirnya, “Saya jual usaha bisnis sewa mobil milik saya. Istri saya terkejut. Saya jual semuanya dan kembali ke desa untuk menjadi petani.” Ini Jawa. Tak seorangpun yang berani berbuat begini.
“Tentu, saya akui, saya berjalan dari belakang ke depan,” ujarnya, dan senyumnya mulai mengembang. “Namun setelah tujuh tahun, saya menerima penghargaan nasional untuk hasil pertanian organik saya. Saya dapat mengambil segenggam tanah dan mengatakan secara pasti bahan kimia apa yang terkandung di dalamnya.” Abdul, direktur Qariyah Thoyyibah lainnya, ikut bergabung dalam pembicaraan, “Kami tidak memerlukan laboratorium mahal, cukup meminta beliau untuk mencium tanah dan menunggu hasilnya apakah “ini organik,” atau “perlu diolah kembali.”
“Pertanian organik sudah mendarah daging baginya,” seloroh Abdul, dengan melirik kepada koleganya, “bahkan jenggotnya pun organik.”
Qariyah Thoyyibah berbeda dengan mitra konstruksi BIRU lainnya. Di setiap provinsi dimana Program Biogas Rumah (BIRU) beroperasi, ada kantornya tersendiri dan membentuk kemitraan masing-masing dengan organisasi-organisasi setempat. Dari 11 mitra konstruksi yang membangun reaktor biogas model BIRU, tak satu organisasipun yang dibangun serupa dengan Qariyah Thoyyibah. Malah, ini adalah satu-satunya di antara 10 provinsi yang berada dalam cakupan Program BIRU.
Organisasi ini memiliki bentuk yang dikenal sebagai perserikatan. Meskipun organisasi ini memiliki misi sosial dan nirlaba, strukturnya berbeda dengan LSM atau yayasan sosial yang biasa, yaitu Qariyah Thoyyibah acapkali menyelenggarakan kongres. Dewan direktur organisasi ini dipilih setiap empat tahun lewat sarana demokratis. Saat ini organisasi ini terdiri atas 116 paguyuban, yang mana masing-masing minimum terdiri dari tiga kelompok, yang pada umumnya memiliki antara 25 hingga 100 anggota. Sementara LSM-LSM dan yayasan lainnya memiliki sedikit staf, Qariyah Thoyyibah memiliki 15.000 anggota di seluruh Jawa Tengah.
Kisah mereka juga agak berbeda dengan mitra-mitra lainnya.
“Qariyah Thoyyibah didirikan pada saat tumbangnya rezim Soeharto. Saat itu sedang diselenggarakan halaqah, rapat di antara Ulama Muslim dari seluruh penjuru Jawa Tengah,” terang Abdul, yang menyandang gelar di bidang pendidikan Islam. “Tujuan mereka adalah untuk menggalang persatuan, dan menemukan jalan keluar yang aman dari masa reformasi. Salah satu gagasan yang muncul adalah untuk membantu federasi petani.”
“Sebagaimana anda tahu, selama rezim Soeharto, kami tidak diizinkan untuk membentuk kelompok petani. Kami harus bergabung dengan salah satu kelompok bentukan pemerintah,” ujar Abdul. “Pada tahun 1970-an Soeharto terobsesi dengan cita-cita untuk mendorong produksi beras oleh masyarakat agraris dalam jumlah yang luar biasa. Metodenya yang digunakannya adalah “Revolusi Hijau,” yang menekankan pada kelebihan produksi, pestisida yang memberantas apapun yang menghalangi jalannya, dan pupuk kimia yang merusak tanah, bahkan kamipun tidak dapat mengembangkan benih padi kami sendiri.”
“Revolusi Hijau menghilangkan kemandirian petani. Kebijakan pemerintah merusak lingkungan hidup. Jadi kita melawan kebijakan pemerintah. Pertanian Organik Terintegrasi adalah jiwa dari gerakan kami.”
Sejak pendiriannya di tahun 1999, Qariyah Thoyyibah telah tumbuh secara signifikan. Pada tahun 2008 organisasi tersebut menawarkan pinjaman, dan koperasi serba usaha bertindak sebagai depot untuk menampung hasil pertanian. Lahan di sekitar kantor pusatnya yang berlantai dua juga dilengkapi dengan pusat-pusat pelatihan dan lahan percontohan, yang mengajarkan segalanya yang perlu diketahui oleh petani organik.
Hubungan mereka dengan biogas tumbuh dari kebutuhan akan pupuk. Limbah biogas (bio-slurry) yang dihasilkan oleh reaktor biogas adalah pupuk siap pakai, laboratorium (dan hidung Muchtarum) telah membuktikan kualitasnya. Banyak petani yang enggan beralih dari pupuk kimia kembali ke organik, apabila organik membutuhkan persiapan pembuatan pupuk kompos yang memakan waktu berjam-jam dari pupuk yang dihasilkan oleh lahan pertanian. Bio-slurry, sebaliknya, langsung siap digunakan.
Pada tahun 2008, Qariyah Thoyyibah mulai mengembangkan biogas bersama dengan organisasi-organisasi yang berbeda-beda, dengan menggunakan model berkubah dua. Pada tahun 2012, disebabkan oleh tingginya biaya pemasangan, mereka bereksperimen dengan model BIRU yang lebih murah dan lebih handal, dan sebuah kemitraan dibentuk dari situ. Hingga hari ini mereka telah membangun 275 reaktor biogas. Menurut Muchtarum biogas dapat menyesuaikan dengan model Pertanian Organik Terintegrasi, dan memiliki potensi dalam organisasi yang beranggotakan 15.000 orang.
Keberhasilan dari gerakan organik telah mendapatkan perhatian dari pemerintah. Berbagai tokoh politik, termasuk Wapres Jusuf Kalla, telah mengadakan pertemuan dengan Qariyah Thoyyibah. Menurut Muchtarum, pemerintah telah mengadopsi banyak dari pendekatan yang mereka gunakan, khususnya pemerintah Joko Widodo (Jokowi) saat ini. Pada tahun 2014, contohnya, Jokowi mengumumkan Program Seribu Desa Organik, menyerukan diciptakannya 1.000 desa organik di seluruh Indonesia.
Saya menanyakan kepada mereka bagaimana hubungan mereka dengan pemerintah sekarang. “Kami tidak berada di bawah pemerintah, kami berada di depan pemerintah,” ujar Muchtarum.
Abdul menambahkan, “Saya bukan anti-pemerintah. Ayah saya seorang tentara, beliau berjuang untuk kemerdekaan negeri ini. Saya tidak akan pernah mungkin bersikap anti-Indonesia. Harapan saya adalah untuk mengajarkan kepada pemerintah kami bukan seperti yang dulu. Sekarang sudah ada banyak perubahah, ada kerjasama, ada keinginan untuk berbagi.”
“Apabila ada perubahan lagi, kami akan kembali melawan.” (Joshua Parfitt)