Hasil Biogas: Kisah Keberhasilan di Sumba
Saat berkendara melintasi Sumba, hampir tidak mungkin untuk mengalihkan pandangan dari lingkungan sekitar, satu pemandangan indah berganti ke pemandangan indah lainnya berebut menarik perhatian. Sabana dilintasi oleh kuda-kuda, padang rumput pegunungan yang dipenuhi oleh sapi, kambing, serta hutan sebagai habitat dari kera dan berbagai macam burung endemik.
Keindahan alam ini tampaknya termanifestasi diri lewat warga lokal melalui kepercayaan mereka, Marapu. Penduduk asli Sumba percaya bahwa arwah mereka yang penasaran karena meninggal sebelum pada waktunya akan berdiam diri di pepohonan dan bebatuan. Agar mereka tidak mengganggu, maka mereka diberi sesajen. Selain itu, alam juga menerima sesajen dalam bentuk lain: selama penyelenggaraan ritual tahunan Pasola, para penunggang kuda saling melempar batang bambu tumpul dengan harapan akan ada darah yang menetes. Pengorbanan ini dipercaya akan membuat tanah menjadi subur sehingga akan mendapat panen yang melimpah.
Meskipun kepercayaan Marapu telah banyak kehilangan relevansinya, kebutuhan akan lahan pertanian, dan juga permintaan dunia terhadap kayu cendana yang menyebabkan kerusakan hutan yang dulunya lebat di pulau itu, sebenarnya masih banyak orang di Sumba yang memegang kepercayaan mendalam untuk hidup harmonis dengan lingkungan. Dan keberadaan Biogas Ruman (BIRU) dengan senang hati mendukung hal tersebut dengan cara-cara mereka sendiri.
Ibu Linda
Terletak di sebuah bukit kecil di Waingapu, ibu kota Sumba Timur terdapat sebuah rumah. Tampak tanda yang sudah lapuk menunjukkan lokasi penjualan kartu perdana dan pulsa isi ulang. Sebuah kulkas tua yang terisi penuh dengan beragam macam minuman manis mengeluarkan suara desis yang pelan di sudut toko Ibu Linda. Baru-baru ini ia menambahkan sayuran organik di tokonya yang kecil. Di sudut halaman yang digunakan anak lelakinya untuk latihan dengan sepeda barunya, juga ditanami bayam dan sayur-sayuran lainnya, diberi pupuk organik, dibiarkan tumbuh di bawah sinar matahari. Di belakang rumah, lemna (duckweed) perlahan-lahan tumbuh memenuhi kolam yang baru saja dibangun.
Selain manfaat yang diperolehnya dari kebun kecil di depan rumah, Ibu Linda sudah mulai menjual bio-slurry (ampas biogas) ke kelompok perempuan tani tempat ia bergabung. Awalnya, ia membagi-bagikan sampel produk, namun segera setelah perempuan-perempuan lain menyaksikan sendiri efek dari bio-slurry itu secara langsung, ia mendapatkan hadiah yaitu hasil panen dari perempuan-perempuan tersebut sebagai ucapan terima kasih dan sekarang ia mulai memiliki pelanggan tetap. Sejauh ini, ia mampu menjual 300 liter bio-slurry cair.
Jhon Ludji
Sambil duduk di bangunan terbuka yang melindungi kami dari terik matahari Sumba yang sangat panas, kami menyeruput sirup tuak dari mangkuk dengan tepian warna emas, sementara Pak Jhon Ludji mengeluarkan sebatang rokok lagi dari tas pinggangnya. Setelah menyulut rokoknya, ia langsung bercerita kepada kami tentang dampak negatif pupuk urea pada lahannya. Sebelum ia membangun reaktor biogasnya sendiri dan mulai memanfaatkan bio-slurry, ia mengalami kegagalan panen dalam satu musim. Lahannya terlalu kering dan pupuk kimia tidak lagi dapat mencukupi kebutuhan lahannya.
Sekarang setelah ia beralih ke pertanian organik, lahan pertaniannya semakin subur. Bahkan saat kami sedang berbincang-bincang, tiga orang pelanggan datang mampir untuk berbelanja, memesan buah dan ikan yang diberi makan lemna (duckweed). Tidak hanya orang-orang yang berdatangan ke lahan pertanian Pak Jhon dan menikmati hasil produk dari lahan tersebut. Pak Jhon juga telah menjual hasil pertaniannya ke rumah sakit dan kantor-kantor di Waingapu. Namun, Pak Jhon tidak hanya menerima manfaat kegiatan pertaniannya, karena pembangunan reaktor biogas juga telah memberikan dampak secara sosial yang lumayan besar. Sebagai ketua kelompok pertanian, ia juga dengan senang hati membantu anggota-anggota lainnya, memperkuat komunitasnya secara keseluruhan. Ia menerangkan juga bahwa ia masih menyimpan tabung urea di belakang ruang kerjanya, dibiarkan teronggok karena tidak ada rekan sesama petani yang tertarik dengan pupuk urea lagi setelah mereka mencoba bio-slurry. Selain itu, istrinya, Ibu Seni, akhirnya merasa gembira bisa memasak untuk semua pekerja di lahan pertaniannya lagi, karena biaya pembelian LPG telah berkurang separuhnya.
Setelah menerima resep yang terdiri dari banyak bahan alami untuk mengatasi batu ginjal, kami mengucapkan salam perpisahan dan meninggalkan surga hijau yang telah dibangun oleh keluarga itu dari reaktor biogas milik mereka sendiri. (Max Schmiel)