Solusi Berkelanjutan untuk Masalah yang Selalu Berkembang
Rawa Pening adalah sebuah danau yang berlokasi di Cekungan Ambarawa di Jawa Tengah yang saat ini menghadapi masalah karena berlimpahnya eceng gondok. Kami segera berangkat dengan mobil pagi-pagi sekali dan menuju ke danau yang terletak di sebelah selatan Semarang, hari itu cukup cerah. Kami tahu kami sedang mendekati danau ketika setiap sudut yang terlihat ditutupi oleh eceng gondok yang mengganggu, yang dijemur sebelum diubah menjad sepasang sepatu, tas, atau mungkin cindera mata. Begitu kami keluar dari mobil dan berjalan menuju danau, saya baru sadar mengapa danau ini berada pada peringkat 9 dari 78 hal yang harus dilakukan di Semarang menurut TripAdvisor, warna danaunya sangat menakjubkan. Di kejauhan kami bisa melihat awan mendung gelap melayang di atas perbukitan, kontras sekali dengan nelayan lokal yang sedang mendayung perlahan di bagian depan perahunya yang warna-warni . Meskipun demikian, tujuan kami ke sini bukan hanya untuk menikmati pemandangan, kami ke sini untuk menyaksikan secara langsung eceng gondok yang menimbulkan masalah dan mengancam eksistensi danau dan seluruh kehidupan yang bergantung kepadanya.
Eceng gondok telah menjadi tanaman air yang paling invasif di dunia. Tingkat pertumbuhannya sangat cepat dan sangat mudah beradaptasi saat menginvasi tanaman lain setempat. Warnanya yang hijau segar dengan bunga yang cantik, membentuk lapisan yang padat yang menyebabkan sumbatan dan menghalangi oksigen, sinar matahari serta nutrisi dari badan air. Lapisan yang tebal tampak jelas menumpuk di Rawa Pening dan membentuk pulau yang menghalangi pergerakan perahu dan nelayan. Menurut seorang peneliti dari Universitas Diponegoro di Semarang, Rawa Pening dapat mengering menjelang tahun 2021. Ini adalah pemikiran yang mengkhawatirkan ketika begitu banyak orang yang bergantung pada danau tersebut untuk irigasi, pengendalian banjir, dan sumber listrik serta untuk menangkap ikan.
Di sinilah Biogas Rumah (BIRU) dapat berperan. Mereka menyadari potensi memanfaatkan tanaman ini untuk produksi biogas dan menyediakan proses pengelolaan yang organik, efektif, dan berkesinambungan terhadap tanaman eceng gondok yang invasif ini. Ini adalah solusi keberkelanjutan ketika ternyata terdapat banyaknya strategi pengelolaan tanaman ini termasuk menyingkirkan tanaman secara fisik yang menghabiskan waktu, atau penggunaan bahan kimia berbahaya dengan biaya yang harus ditanggung dari segi finansial dan lingkungan, danberbagai tantangan lainnya.
Saya merasa cukup beruntung dapat berkunjung ke danau bersama dengan Florianus (Flo) asal Jakarta, yang sedang menyelesaikan pendidikannya di tingkat sarjana dalam bidang Energi Terbarukan di Jerman. Flo menerima pendanaan untuk membangun dua reaktor biogas di sekitar danau. Ia menghubungi BIRU dan telah memilih untuk menggunakan rancangan kubah beton permanen dari BIRU, dan kontraktor untuk melakukan pembangunan tersebut. Flo telah menyelesaikan penelitiannya tentang penggunaan eceng gondok untuk mengisi reaktor biogas, dan saat ini sedang berada pada tahapan mempraktikkan hasil penelitiannya. Kami mengunjungi lokasi yang diusulkan untuk reaktor biogas dengan kapasitas masing-masing 8m3 dan 10m3 yang akan dibangun pekan depan. Keluarga yang menjadi tuan rumah dimana lokasi reaktor biogas itu berada sangat senang membayangkan adanya prospek pasokan biogas ke depannya, karena artinya mereka tidak lagi harus membeli gas LPG.
Flo berbaik hati dengan kesediaannya untuk berbagi data termasuk citra yang menunjukkan kawasan danau Rawa Pening dan seberapa besar penyusutan danau dari tahun 2010 hingga 2015, sebagaimana yang tampak pada diagram 1. Penyusutannya di beberapa tempat sangat besar, dimana sebelumnya kawasan itu terendam air, sekarang telah berubah menjadi sawah dan beberapa rumah telah dibangun di atasnya. Terhitung pada bulan Juni 2015, 42% dari luas danau telah ditutupi oleh eceng gondok (diagram 2), dimana luas area yang ditutupi eceng gondok semakin melebar karena ukuran tanaman ini dapat tumbuh dua kali lipat dalam waktu lima hari. Flo menjelaskan agar kondisi danau tetap sehat, maksimum hanya 20% tanaman eceng gondok yang boleh tumbuh di sekitar tepian danau. Artinya, tanaman eceng gondok yang lain dapat dimanfaatkan untuk produksi biogas.
Berdasarkan jumlah eceng gondok yang ada di permukaan danau pada saat ini, artinya ada cukup bahan untuk mengisi 2.000 reaktor biogas. Produksi energi secara potensial berarti sekitar 1,003 ton karbon per tahun, menyelamatkan danau yang lambat laun akan menghilang dan menyediakan slurry organik yang kaya nutrisi bagi penghuni yang tinggal di sekitar daerah untuk meningkatkan produktivitas pertanian dan bisnis mereka. Ini adalah contoh lain dari solusi berkelanjutan yang menarik, dimana BIRU dapat membantu untuk mencapai hal tersebut.
Meskipun Pemerintah Indonesia telah mengakui perlunya untuk mengendalikan populasi eceng gondok, dan setahun sekali menyediakan dana untuk mengelola tanaman ini, prosesnya memakan biaya tinggi dan terbukti tidak terlalu efektif. BIRU dan Flo selangkah di depan dengan strategi yang realistis dengan berpikir bahwa solusi yang lebih berkelanjutan adalah dengan menginvestasikan dana untuk membangun reaktor biogas. Ini akan memotivasi warga sekitar untuk memanfaatkan eceng gondok. Setiap hari tanaman itu dapat dipanen untuk mengisi reaktor biogas oleh warga dan menyediakan energi bersih serta pupuk organik.
Setelah berbincang dengan Flo dan mendengarkan penelitiannya, saya tidak lagi merasa sedih memikirkan masa depan danau itu. Sebaliknya, saya memandang tanaman menjengkelkan yang membuat danau kering itu sebagai sumber energi tanpa menghasilkan karbon. Untuk satu hal, saya tidak sabar menunggu hingga penelitian Flo selesai, mudah-mudahan lebih banyak orang yang dapat melihat potensi dan lebih banyak reaktor biogas yang dapat dibangun untuk menyelamatkan Danau Rawa Pening dari kepunahan. (Louise Waddell)