Kotoran Sapi, Dulu Dibuang, Kini Disayang
Kompas – Malam baru datang saat api menyambar kaus lampu petromaks. Cahaya kuningnya menerangi kandang sapi milik Apit Zamzam (47), peternak di RW 024 Kampung Padamukti, Pangalengan, Kabupaten Bandung. Kandang berukuran 16 meter persegi diisi delapan sapi perah. Ditemani lenguhan beberapa sapi, api tak henti bekerja.
Setumpuk kotoran sapi diangkut dari kandang menuju wadah bulat berbahan beton di luar kendang. Kotoran sapi tak lagi menjadi musuh peternak di selatan Bandung, Jawa Barat. Dulu dibuang, sekarang disayang.
“Waduh ini namanya reaktor biogas. Setiap hari diisi kotoran sapi supaya gasnya bisa terus membuat petromaks menyala,� katanya sembari menunjukkan reaktor berdaya tamping 12 meter kubik itu.
Diinisiasi sejak tahun lalu, Apit mengatakan, gas kotoran sapi alias biogas itu tangguh dan tidak berbau. Selain di kendang, satu petromaks lain dipasang menerangi beranda rumah. Untuk nyala dua petromaks nonstop selama 12 jam, Apit membutuhkan sekitar 50 kilogram kotoran sapi. Tak sulit mendapatkan. Seekor sapi mengeluarkan hingga 25 kg kotoran setiap hari.
“Lumayan bisa menghemat biaya listrik yang kerap mati kalau malam har,� katanya. Sebelum menggunakan biogas, ia harus mengeluarkan Rp. 100.000 per bulan untuk bayar listrik. Kini, dengan biogas, Apit hanya mengeluarkan Rp. 80.000 per bulan. “Saya juga tidak beli elpiji lagi. Memasak sudah pakai biogas,� katanya.
Tekan pencemaran
Akan tetapi, keuntungan menggunakan biogas tak sebatas rupiah. Hidupnya sebagai peternak kini lebih tenang. Tak perlu lagi merasa bersalah membuang kotoran sapi ke Sungai Cisangkuy, anak Sungai Citarum. “Dulu saya tak punya pilihan. Bingung mau buang kotoran sapi ke mana. Biogas jadi salah satu solusinya,� katanya.
Menjadi salah satu sentra sapi perah di Jabar, Kecamatan Pangalengan menghadapi dilema. Sebaian besar peternak membuang kotoran sapi ke Cisangkuy dan Citarum. Padahal, Cisangkuy adalah sumber air bersih bagi warga Bandung. Sementara Citarum menjadi andalah air bersih warga Jakarta dan sumber air utama bagi produksi listrik Jawa-Bali. Dengan jumlah sapi mencapai 8.000 ekor, sekitar 200 ton kotoran sapi berpotensi dibuang ke sungai per hari.
Karena itu, beragam inovasi pun mampir ke Pangalengan, termasuk di Padamukti. Salah satunya reaktor biogas dari plastik. Namun umurnya tak panjang. Mudah rusak dan sulit merawat membuat warga enggan melanjutkan.
Saat Perum Jasa Tirta (PJT) II datang menawarkan reaktor beton, trauma itu belum hilang. PJT II adalah pengelola Waduk Jatiluhur. Sebagian peternak Padamukti menolak meski biaya pembuatannya ditanggung PJT II. Beruntung Apit sebagai Ketua Rw 024 mau mencoba. Susah payah Apit mengajak 19 warga lain untuk mengikuti jejaknya. “Dibuat di lahan seluas 294 meter persegi di halaman rumah. Biaya sekitar Rp 20 juta,� katanya.
Kepala Divisi Sumber Daya Air dan Listrik Perum Jasa Tirta II Dadan Hidayat mengatakan, bantuan reaktor biogas itu jadi salah satu upaya melibatkan masyarakat untuk menjaga Citarum. “Selain untuk kualitas lingkungan yang baik, program itu mendukung agar masyarakat mandiri sejahtera. Dimanfaatkan jadi biogas, kotoran sapi tak lagi mengotori, tapi jadi menerangi,� katanya.
Keinginan itu bukan tanpa harapan. Jika satu sapi bisa menghasilkan kotoran untuk menyalakan petromaks selama 12 jam, sesuai jumlah sapi, ada 8.000 petromaks yang bisa memberi terang bagi sekitar 4.000 rumah peternak seperti Apit. Kesulitan pemasangan instalasi listrik di Jabar yang dipicu kondisi geografis bisa diatasi lewat pemelihraan sapi.
Media untuk cacing
Setidaknya nikmat itu sudah menggoga Ujang Sutisna (43), tetangga Apit. Pernah menolak tawaran pembuatan biogas, sekarang ia berharap bantuan serupa. “Tidak hanya hemat biaya listrik, ampas biogas bisa dimanfaatkan untuk memelihara cacing,� katanya.
Pelaksana Proyek Biogas Kampung Padamukti PJT II Rudi Saputra mengatakan, pelatihan budidaya cacing menjadi kelanjutan pemanfaatan biogas. Setelah digunakan untuk pembangkit listrik, ampasnya jadi media memelihara cacing. Ada tiga jenis cacing yang diberdayakan yaitu Lumbricus rubellus, Eisenia fetida, dan Pheretima sp. Cacing-cacing itu berharga tinggi dan diminati perusahaan pembuat obat, kosmetik, hingga produsen umpan ikan di Tangerang dan Bekasi.
“Kami menyediakan dua rumah budidaya cacing, masing-masing berukuran 30 meter persegu. Kini, petani pengguna biogas sudah mendapat untung. Setiap bulan, mereka panen hingga 5 kuintal cacing,� kata Redi.
Caca Yanto 938), peternak Padamukti, dengan bangga memperlihatkan cacing Lumbricus rubellus-nya. Sehat, berwarna merah darah, dan menggeliat diantara kotoran sapi yang mengering tanpa bau. “Saya menanam 5 kg bibit cacing pada 20 kg ampas biogas. Bibit cacing dibeli Rp 25.000 per kg. Setelah dipelihara slama dua bulan, keuntungannya 3 kali lipat. Dulu dibuang, sekarang kotoran sapi ini disayang,� kata Caca.
Hari pun semakin gelap di Padamukti, namun Apit belum berhenti berbagi cerita. Diterangi petromaks biogas di beranda rumah dekat warung kecil miliknya, wajah Apit sumringah. Usaha mengolah kotoran sapi tak sia-sia.
Makin sejahtera
Kini, selain berhemat, ia punya penghasilan lebih besar. Dari tujuh ekor sapi dewasa, dia mendapat 95 liter susu per hari. Harganya Rp 4.900-Rp 5.000 liter. Lewat budidaya cacing dia meraup sekitar Rp 300.000 per bulan. Tambahan penghasilan itu, ia putar jadi modal warung kelontong. Jika sebelumnya beromzet Rp 600.000 per bulan, dengan penambahan mata dagan omzetnya melonjak hingga Rp 1,5 juta per bulan.
“Saya tak pernah menyangka akan senikmat ini hasilnya. Banyak hal yang saya dapatkan, dari hemat energi, hati tenang, hingga tambahan ekonomi. Kotoran sapi ternyara bisa membuat kami lebih sejahtera,� katanya.
Pengalaman sebagai peternak Padamukti itu mengajarkan bahwa hidup berbagi dengan alam bukan slogan. Kotoran sapi bisa menjadi emas hijau yang mengundang sejahtera.
(Sumber: Kompas, 5 Oktober 2017)