Program BIRU: Pendekatan Akar Rumput dalam Peningkatan Akses Energi hingga Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
Sumber energi baru dan terbarukan (EBT) merupakan alternatif sumber
energi yang ramah lingkungan. Seperti tercantum dalam publikasi
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tahun 2016, EBT tidak
mencemari lingkungan karena tidak memberikan kontribusi terhadap
perubahan iklim dan pemanasan global sebab energi yang didapatkan
berasal dari proses alam yang berkelanjutan, seperti sinar matahari,
angin, air, biofuel (bahan bakar hayati yang dihasilkan dari bahan-bahan organik), dan geothermal (panas bumi).
Perhatian terhadap upaya
mengeksplorasi sumber energi baru dan terbarukan teramat penting sebab
ancaman terjadinya krisis energi di tingkat nasional telah melanda
Indonesia semenjak beberapa tahun terakhir. Misalnya saja, menurut
Harian Ekonomi Neraca (2015), krisis energi di Indonesia terjadi akibat
buruknya pengolahan minyak bumi selama ini. Lebih lanjut, disebutkan
bahwa sejatinya cadangan minyak Indonesia sekitar 3,7 miliar barrel.
Dengan produksi bahan bakar minyak dalam negeri saat ini rata-rata
800.000 barrel per hari, apabila tidak dibarengi dengan upaya penemuan
cadangan minyak baru, maka diperkirakan cadangan minyak lama Indonesia
akan habis 11 tahun lagi. Atas dasar itulah, respons pemerintah terhadap
ancaman krisis energi menjadi bagian vital dalam rangka memastikan
pemenuhan kebutuhan energi masyarakat di masa depan.
Selain itu
apabila ditarik ke dalam konteks global, perhatian terhadap krisis
energi global ditunjukan melalui pembentukan tujuan-tujuan pembangunan
berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs). Bentuk
dukungan
dan komitmen Pemerintah Indonesia terhadap pengimplementasian agenda
global tersebut tercermin dari pembentukan Peraturan Presiden No.
59/Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan (Sustainable Development Goals).
Sebagai
perwujudan dari komitmen global yang harus dicapai pada tahun 2030;
salah satu tujuan SDGs berkaitan dengan efisiensi energi tertera dalam
Goal 7 yaitu menjamin akses energi yang terjangkau, andal,
berkelanjutan, dan modern untuk semua. Telah banyak upaya yang dilakukan
oleh pemerintah Indonesia untuk mengatasi persoalan energi, namun
peningkatan bauran energi terbarukan masih berjalan lambat (WWF, 2017).
Diproyeksikan pada akhir tahun 2017, bauran energi terbarukan hanya akan
mencapai 7 persen dari total 11 persen yang ditargetkan—padahal
pemerintah telah menetapkan 23% bauran energi terbarukan pada 2025
(Dirjen EBTKE, 2016).
Merespon kondisi tersebut, akselerasi
pencapaian target bauran energi baru dan terbarukan—sebagai solusi
esensial permasalahan krisis energi—serta mendukung pencapaian SDGs di
bidang efisiensi energi, berbagai upaya yang dilakukan harus dirumuskan
secara cermat dengan melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan
(multi-stakeholder).
Salah satu model yang sangat relevan dengan
konteks situasi tersebut adalah penerapan inisiatif Sustainable Energy
for All (SE4ALL) yang ditetapkan oleh PBB tahun 2011 lalu. Inisiatif
tersebut melibatkan peran aktif organisasi masyarakat sipil
(non-governmental organization/NGO atau civil society organization/CSO)
sebagai salah satu aktor utama selain pemerintah dan sektor swasta dalam
hal perluasan akses terhadap energi di masyarakat.
Diantara
beragam organisasi masyarakat sipil yang mengembangkan sektor EBT, salah
satu kontribusi signifikan disumbangkan oleh Rumah Energi yang
secara khusus bergerak dalam membesarkan sektor biogas sebagai sumber
energi alternatif yang ramah lingkungan dan mudah digunakan oleh
masyarakat.
Peranan organisasi non-profit yang bergerak dalam
bidang lingkungan (Environmental Non-Profit Organization), seperti Rumah Energi, yaitu mempengaruhi perubahan kualitas lingkungan
pada skala kecil/lokal hingga mendorong pemerintah mencetuskan kebijakan
yang meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan lingkungannya secara
lebih luas (Handy, 2001).
Program Biogas Rumah (BIRU) atau
Indonesia Domestic Biogas Programme (IDBP) yang dikelola oleh
Rumah Energi bersama Hivos telah memberikan sumber penghidupan sekaligus
harapan baru bagi masyarakat di daerah-daerah krisis energi. Hingga
tahun 2017, Program BIRU telah membangun sekitar 21.000 reaktor biogas
di 10 provinsi di Indonesia yaitu Lampung, Banten, Jawa Barat, D.I.
Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa
Tenggara Timur, dan Sulawesi Selatan.
Pembangunan reaktor BIRU
tersebut utamanya menjadikan biogas sebagai sumber energi untuk
aktivitas memasak, penerangan, mendukung aktivitas pertanian organik
yang terintegrasi, hingga menjadi sumber pendapatan tambahan bagi
penerima manfaat program (beneficiaries). Kontribusi Rumah
Energi dalam pengembangan alternatif EBT juga selaras dengan tujuan dari
SDGs yaitu memberikan akses energi yang terjangkau, andal,
berkelanjutan, dan modern untuk semua.
Selain itu, kekuatan
Program BIRU dari Rumah Energi antara lain manfaat yang
dirasakan secara langsung menyentuh kebutuhan dasar masyarakat di daerah
krisis energi sehingga dapat menutup ketimpangan energi antara daerah
yang satu dengan daerah lainnya.
Akhirnya, program-program yang
ditujukan untuk mendayagunakan potensi EBT di daerah krisis energi
memang sangat diperlukan. Diharapkan inovasi dan gerakan yang langsung
menyentuh kebutuhan energi di masyarakat menjadi salah satu upaya yang
sangat bermanfaat untuk menciptakan ketahanan energi dari level
komunitas atau lokal yang pada akhirnya akan mendukung target-target
pembangunan dan bauran energi oleh pemerintah (bottom-up approach).
Inisiatif
pengembangan EBT pada tingkatan akar rumput melalui gerakan atau
program-program NGO/CSO juga sedikit banyak dapat meringankan beban
pemerintah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan energi di berbagai
daerah di Indonesia. Transformasi pola pemanfaatan energi di masyarakat
dari energi fosil beralih ke energi baru dan terbarukan juga membawa
manfaat lain seperti perubahan pola perilaku masyarakat, mendorong
pencapaian target pembangunan manusia yang inklusif, serta menciptakan
kondisi kesejahteraan sosial masyarakat. (Supriadi)
Referensi:
Dirjen EBTKE. (15 November 2016). DEN: 2017: Energi baru dan terbarukan harus kembali disubsidi.
http://ebtke.esdm.go.id/post/2016/11/15/1433/den.2017.energi.baru.terbarukan.harus.kembali.disubsidi
(Diakses pada 6 November 2017).
Handy, F. (2001). Advocacy by environmental non-profit organizations: An optimal strategy for addressing environmental problems? International Journal of Social Economics, Vol.28(8), pp.648–666.
IESR. (2015). Pertemuan NGO/CSO Indonesia untuk Mendorong Implementasi Sustainable Energy for All (SE4ALL). Laporan workshop pada 9 Agustus 2015 di Bumbu Desa Cikini, Jakarta.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). (2016). Mengarusutamakan EBT Sebagai Energi Masa Depan. Jurnal Energi, Edisi 02, hal. 9—11.
Rosandya, Rindy. (13 Maret 2015). Indonesia dinilai alami krisis energi. Harian Ekonomi Neraca. http://www.neraca.co.id/article/51604/indonesia-dinilai-alami-krisis-energi (Diakses pada 6 November 2017).
WWF. (2017). Implementasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) yang Inklusif dalam Pencapaian Ketahanan Energi di Indonesia. Kerangka acuan diskusi interaktif pada Rabu, 1 November 2017 di Hotel Four Points, Gondangdia, Menteng-Jakarta.