Adaptasi Pertanian dengan Pemanfaatan Bio Slurry
Pertanian adalah salah satu sektor yang paling merasakan dampak dari perubahan iklim. Seperti kita ketahui para petani sangat bergantung pada cuaca atau iklim untuk pertanian yang mereka kelola. Akan tetapi pemanasan global yang memicu terjadinya perubahan iklim membuat petani terkadang harus merugi akibat hasil yang tidak maksimal atau bahkan mengalami gagal panen.
Pak Kasijan adalah salah seorang petani yang mampu beradaptasi dengan perubahan iklim. Petani asal Desa Slamet Harjo, Kecamatan Moilong, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah ini pekerjaan utamanya adalah bertani padi dan beternak sapi. Dampak perubahan iklim kerap kali mempengaruhi hasil pertanian khususnya padi, karena faktor curah hujan yang sulit diprediksi dan faktor lainnya seperti serangan hama.
Bahkan khusus untuk menangani hama tikus di sawahnya, beragam cara telah dilakukan. Mulai dari membuat jebakkan tikus, hingga dengan cara setrum. Menurutnya, tikus-tikus pun beradaptasi dengan cara-cara para petani untuk memberantasnya.
“Tikus itu pintar. Dijebak satu kali kena, dua kali tiga kali sudah mengerti dia, loncat dia.”
Bukan hanya itu, faktor curah hujan yang tak menentu jadi persoalan lain yang memerlukan usaha ekstra untuk menyiasatinya. Di musim kemarau misalnya, biasanya petani memanfaatkan mesin penyedot untuk mengairi persawahan walau pun itu tidak cukup karena tidak semuanya dapat dijangkau. Sedangkan di musim hujan mereka harus waspada karena secara geografis Kecamatan Moilong ini rawan terdampak banjir.
“Di sini sekarang hujannya tidak menentu, kadang tanah di ladang sampai kering. Tapi sekalinya hujan deras dan lama, sampai banjir di ladang pada juga kebanjiran.”
Pak Kasijan tidak ingin hanya berpasrah pada situasi tersebut. Ia menyiasati hasil panen yang kurang maksimal itu dengan berkebun tembakau. Sementara harga gabah yang dijualnya yakni Rp 100.000 per-sack di waktu tertentu harganya bisa menjadi rendah akibat kualitas yang kurang baik disebabkan serangan hama. Maka dari itu, beliau menanam tembakau di sekitar pekarangan rumah dengan harapan itu bisa menutupi kerugian panen padinya. Komoditas tembakau sendiri dijual Rp 10.000 /ons atau Rp 100.000 /kg, sedangkan saat sampai pasar harga tembakau bahkan bisa mencapai Rp 140.000 /kg.
Bukan tanpa perencanaan, justru strategi adaptasi pertanian yang dilakukannya ini memang menjadi solusi baginya. Terlebih setelah beliau mempelajari tentang kegunaan bio slurry yang merupakan ampas dari biogas yang telah dimanfaatkannya selama ini melalui Program Pengembangan Kawasan Ekonomi Produktif atas kerjasama JOB Pertamina Medco E & P Tomori Sulawesi dengan Yayasan Rumah Energi. Menurutnya, tanaman tembakau yang diberi pupuk bio slurry memberikan dampak yang sangat baik untuk tanaman tembakaunya.
“Sejak pakai bio slurry tanaman tembakau saya jadi gemuk-gemuk, terasa sekali perbedaannya waktu tidak pakai bio slurry dulu. Itu untuk yang kering. Kalau bio slurry yang cair saya pakai untuk menyemprot tembakau supaya tidak ada hama.”
Bio slurry ia manfaatkan bukan hanya untuk kesuburan tanah ketika hendak menanam tembakau, tapi ia juga menggunakan bio slurry cair yang sudah dicampurnya dengan zat-zat lain untuk mengusir hama orong-orong (serangga kecil) dengan cara menyemportkannya di malam hari. Katanya, serangga tersebut tidak terlihat jika siang hari, makanya penyemprotan dilakukan pada malam hari karena serangga tersebut tampak menyala di malam hari.
Meskipun Bertani tembakau bukan prioritas baginya tetapi keuntungan yang didapat setidaknya dapat menutupi kerugian akibat panen padi yang kurang maksimal. Terlepas dari itu, dari Pak Kasijan kita belajar bagaimana kemampuan melihat peluang dari suatu kondisi yang tidak menguntungkan adalah faktor penting dalam menjalankan adaptasi pertanian.