Biogas, Sahabat Setia di Masa Tua
Karya ini mejadi pemenang kedua Green Competition 2013 kategori Feature Writing. Karya tidak berhubungan dengan program BIRU.
Oleh Nurul Nurmala
Banyak orang yang menikmati masa tuanya dari tabungan atau pensiunan. Uang boleh jadi adalah sahabat setia bagi orang-orang yang telah lanjut usia dan menginginkan ketenangan dalam mengisi sisa hidupnya. Tetapi Mbah Aceng dan Nini Oyoh, pasangan suami istri yang menginjak usia kepala enam, nampaknya punya definisi lain tentang sahabat setia di masa tua.
Tak ada yang istimewa dari rumah panggung milik seorang peternak sapi di Desa Haurngombong, Kecamatan Pamulihan, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat ini. Namun saat kita mengunjungi rumah bergaya klasik khas pedesaan milik mbah Aceng, akan timbul pertanyaan dalam benak kita mengapa ada sebuah sumur kecil yang mulutnya ditutupi sebuah penampang, berbeda dengan sumur air biasanya yang terdapat katrol. Ini tentu saja bukan sumur biasa. Sumur ini menjadi sumber penghidupan bagi kebutuhan energi untuk keperluan masak-memasak bagi rumah yang dihuni oleh dua orang anggota keluarga yang telah lanjut usia.
“Ini adalah penampungan untuk menyimpan kotoran sapi, nanti kotoran tersebut diaduk di tempat ini” ujar Mbah Aceng. Ternyata sumur yang terlihat seperti sumur air berdiameter sekitar satu meter adalah penampungan kotoran sapi sebagai bahan baku pada proses biogas. Biasanya sekali melakukan proses ini, Mbah Aceng memerlukan kotoran sapi sebanyak empat gembolan atau empat ember besar cat tembok King Kong. Alhasil Nini Oyoh dapat memasak dengan menggunakan gas gratis bermodalkan kotoran sapi sebanyak empat gembolan per satu kali proses. Satu proses pengadukan kotoran sapi biasanya dapat memenuhi kebutuhan masak-memasak selama beberapa bulan lamanya tergantung pemakaian.
Saat ditanya bagaimana rasanya menggunakan biogas untuk memasak, Nini Oyoh bersemangat mencurahkan isi hatinya “Ah tidak, nini takut, tidak bisa menggunakan kompor biogas”. Begitulah kesan pertama saat Nini mendapatkan kompor biogas. “Aneh ya kenapa ya kotoran sapinya berputar dan bisa menjadi api?” Penjelasan dari pertanyaan yang berputar di pikiran Nini sulit dipahaminya sehingga ia menjadi takut menggunakan biogas. Selain itu banyaknya berita yang beredar di media massa yang mengabarkan terjadinya ledakan akibat gas membuat nini mengambil kesimpulan negatif. Saking takutnya nini dengan biogas, setiap kali nini hendak memasak, si Mbah Acenglah yang selalu menyalakan api dan kompor biogas. Namun suatu hari ketika Mbah Aceng sedang pergi ke kebun, Nini ingin memasak air panas. Nini tentu saja sangat kesulitan dan takut sekali menyalakan kompor sementara ia benar-benar memerlukan air panas. Nini pada saat itu galau di antara pilihan dia harus rela kebutuhannya tidak terpenuhi atau melawan rasa takut. Entah mendapat bisikan apa, nini akhirnya tidak melawan rasa takut hanya saja ia meningkatkan keberanian dan rasa percaya dirinya untuk menyalakan kompor biogas. Hasilnya ia kaget bukan main karena tiba-tiba api biru menjulang tinggi hampir setara dengan tinggi badannya. Saat nini menunjukan api dari kompor biogas kepada saya memang benar, apinya sangat besar dan menjulang tinggi. Setelah kejadian itu, nini menjadi berani dan mulai nyaman menggunakan kompor biogas. Malah, nini menjadi asyik memasak karena masakan nini menjadi tetap senikmat masakan dulu dengan biaya Rp0 untuk membeli gas.
Usia yang tidak muda lagi bagi Nini Oyoh membuat ia selalu mengeluhkan rasa mudah lelah dan tidak kuat lagi melakukan pekerjaan yang berat. Iapun berhenti bekerja menjadi penjual makanan keliling. Kakinya sudah tidak kuat lagi menempuh perjalanan mengelilingi rumah-rumah di desa ini. Tidak jauh berbeda seperti yang dialami Nini Oyoh, Mbah Acengpun mulai merasa tidak bisa bekerja maksimal. Ia hanya mampu berkebun dan mengurusi satu-satunya sapi jenis Fries holland miliknya. Kondisi seperti ini tentu saja mempengaruhi ekonomi pasangan usia emas ini. Kenaikan harga terutama kebutuhan pangan sangat menyulitkan mereka. Untung saja dengan adanya biogas ini Mbah Aceng dan Nini Oyoh merasa sangat terbantu. “Kantun cetrék wé nganggo kompor biogas mah, bérés wé teu capé sapertos na hawu ogé teu kedah mésér élpiji” (Tinggal cetrék untuk menggunakan kompor biogas, selesai sudah, tidak capek seperti menggunakan kayu bakar dan tidak usah membeli gas elpiji) ujar Nini Oyoh sambil tersenyum.
Mbah Aceng dan Nini Oyoh sudah menggunakan biogas mulai dari tahun 2007. Pada waktu itu, Mbah Aceng dan 29 kepala keluarga lainnya mendapat peralatan dan pemasangan reaktor biogas gratis dari kelompok Harapan Sari. Kelompok ini adalah kelompok yang beranggotakan peternak sapi di Desa Haurngombong. Salah satu pelopor gerakan untuk menggunakan biogas khususnya bagi peternak sapi di desa ini adalah Pak Komar yang merupakan dosen di jurusan ilmu peternakan Universitas Padjadjaran. Dengan modal awal dari kas kelompok yang pemasukannya berasal dari penjualan susu sapi para peternak, Pak Komar melakukan pemasangan reaktor biogas secara gratis ke beberapa peternak. Setelah diuji coba beberapa waktu akhirnya beliau mengajukan proposal bantuan dana untuk pengembangan lebih lanjut di desa ini kepada Bappeda dan PLN. Tiga puluh lebih rumah peternak sapi di desa ini mendapatkan reaktor biogas. Salah satunya tentu saja rumah Mbah Aceng.
Program yang dipelopori oleh Pak Komar ini nampaknya tidak seratus persen berjalan mulus. Banyak peternak yang malas mengumpulkan dan mengaduk kotoran sapi sebagai bahan baku biogas. Hasilnya banyak reaktor yang tidak berfungsi bahkan ada yang sampai rusak karena perawatan yang tidak baik.
Berbeda dari kebanyakan warga lain, Mbah Aceng selalu rajin mengumpulkan kotoran sapi untuk biogas. Buktinya sudah hampir enam tahun ini, biogas di rumahnya tak pernah padam. Ia memperlakukan biogas sebaik ia memperlakukan sahabat sejati. Walaupun Mbah Aceng dan Nini Oyoh tidaklah memiliki tabungan masa tua yang banyak dan tidak ditemani oleh anak-anaknya yang sudah pergi merantau, pasangan ini tetap setia bersama ditemani biogas yang menjadi sahabat setia untuk menemani keperluan sehari-hari. Kita tahu biogas menjadi energi terbarukan yang tak pernah habis tapi menurut Mbah Aceng dan Nini Oyoh lebih dari itu. Biogas menjadi representasi energi dan semangat diri mereka yang tak pernah padam untuk mengubah kehidupan yang harmonis dengan alam dan lingkungan walau di usia mereka yang berada di penghujung kehidupan.