Pulau Sumba Ingin Bangkitkan Revolusi Listrik Hijau
VoA, Kamanggih— Sebuah keluarga petani makan jagung di luar gubuk mereka di bawah cahaya lampu redup, sementara yang perempuan menenun dan para pemuda bermain dengan ponsel mereka.
Sampai dua tahun lalu, sebagia besar orang di desa Kamanggih di pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur, tidak terjangkau listrik sama sekali. Sekarang, 300 rumah memiliki akses terhadap listrik 24 jam yang dihasilkan oleh pembangkit listrik kecil bertenaga air yang ada di sungai dekat daerah tersebut.
“Kita telah menggunakan air sungai sepanjang hidup, namun tidak tahu bahwa itu bisa memberikan listrik, ujar Adriana Lawa Djati.
Sumba membangkitkan listrik dari tenaga surya, angin, air sungai dan bahkan kotoran babi dengan tujuan menggunakan 100 persen energi terbarukan pada 2025.
Proyek ambisius tersebut, yang disebut “Pulau Ikonik”, dimulai oleh organisasi pembangunan Belanda Hivos dan sekarang menjadi bagian dari strategi pemerintah nasional untuk menaikkan sumber terbarukan dalam penggunaan energi pada 10 tahun mendatang.
Di pulau yang miskin dengan mayoritas penduduk adalah petani dan nelayan seperti di Sumba, akses terhadap listrik telah membuat perbedaan besar pada orang-orang seperti Adriana.
“Sejak kami mulai menggunakan listrik, Â banyak yang berubah. Anak-anak dapat belajar dengan benar, saya dapat membuat keranjang dan menenun karpet lebih lama, dan menjual lebih banyak barang di pasar,” ujarnya.
Meski hanya sekitar 30 persen dari penduduk Sumba yang mencapai 650.000 telah tersambung dengan listrik, lebih dari 50 persen listrik yang digunakan oleh pulau itu berasal dari sumber-sumber terbarukan, menurut data pemerintah.
Koordinator lapangan Hivos untuk Sumba, Adrianus Lagur, mengatakan LSM itu berharap proyek itu dapat dicontoh oleh pulau-pulau lain di provinsi yang sama di NTT.
“Idenya adalah dengan tidak memberi sedekah. Kita mendukung pembangunan infrastruktur energi hijau, tetapi tergantung pada masyarakat untuk mengelola sumber daya ini dan terus menjalankannya,” ujar Adrianus.
Krisis Energi
Meski Indonesia adalah ekonomi terbesar di Asia Tenggara, wilayahnya merupakan yang terburuk dalam hal akses listrik. Untuk mengimbangi pertumbuhan, pemerintah berencana meningkatkan kapasitas listrik sebesar 60 Gigawatt selama periode 10 tahun sampai 2022. Dua puluh persen dari jumlah itu datang dari sumber-sumber terbarukan.
“Indonesia telah menjadi importir minyak selama bertahun-tahun, dan cadangan minyak kita terbatas, jadi energi terbarukan adalah bagian penting dari keamanan energi kita,” ujar Mochamad Sofyan, direktur energi terbarukan di PLN.
Subsidi listrik dan bahan bakar yang besar telah menjadi beban serius terhadap anggaran negara dan menggerogoti ekonomi selama bertahun-tahun.
Namun infrastruktur skala kecil, seperti generator listrik mini tenaga air — dikenal sebagai PLTA mikrohidro — dan turbin angin kecil yang menyalurkan listrik ke Suma tidak cukup untuk menutup kesenjangan energi nasional, bahkan jika dibangun di semua pulau di Indonesia.
Proyek-proyek masif untuk listrik tenaga air dan panas bumi, yang menggunakan energi terbarukan yang diambil dari kantung-kantung panas di dalam bumi, diperlukan untuk mengatasi masalah di negara ini, ujar Sofyan.
“Indonesia memiliki potensi tenaga air yang sangat besar karena hujan turun enam bulan setahun di sebagian besar wilayah. Jadi itu akan menjadi bagian dari jawaban terhadap kekurangna energi,” ujar Sofyan.
Tenaga Kotoran Babi
Sofyan mengatakan ada kekhawatiran bahwa target Sumba untuk mendapatkan listrik 100 persen dari energi terbarukan adalah tidak realistis.
“Pada jangka panjang, kita melihat Sumba masih bergantung pada generator tenaga solar,” ujarnya.
Hivos mengakui bahwa targetnya adalah ambisius, dengan mengatakan bahwa hal itu lebih “inspirasional dan politis” daripada teknis, namun LSM itu yakin target itu dapat dicapai dalam jangka panjang.
Namun masyarakat Suma meraih manfaat dari sumber energi hijau yang sudah tersedia, yang mengurangi beban finansial untuk banyak warga karena pengurangan biaya kayu dan bensin.
Elisabeth Hadi Rendi, 60, dari kota Waingapu, telah beternak babi sejak 1975, tapi baru dua tahun lalu ketika Hivos mengunjungi rumahnya ia menyadari kekuatan kotoran babi.
Setiap hari Elisabeth mengambil kotoran dari kandang babi dan memprosesnya menjadi gas metana.
Penggunaan gas itu telah menghemat biaya rumah tangga Rp 6 juta dalam dua tahun, jumlah yang signifikan untuk keluarga Sumba.
“Kami juga membuat pupuk dari kotoran untuk dipakai di kebun sayuran,” ujarnya. “Kami makan sayuran dan memberi makan sebagian pada babi juga, yang kemudian menghasilkan biogas. Jadi energinya benar-benar berputar.” (AFP/Angela Dewan)