Strategi Mbah Min Mendorong Pemanfaatan Bio-slurry
“Slurry ne oleh tak jaluk suk-suk yo? Iki apik tenan kanggo rabuk tanduran, arep tak nggo rabuk mbako”
(Kapan-kapan, Slurry-nya boleh saya ambil ya? Bio-slurry ini sangat bagus buat pupuk tanaman, saya butuh buat memupuk tembakau),
Beberapa kali permintaan ini ditujukan kepada pemilik biogas yang telah aktif saat kunjungan inspeksi dilakukan di lapangan. Pak Lasimin (60 tahun), supervisor biogas dari KUD Sri Sedono, Ngunut, Tulungagung, Jawa Timur, melontarkan permintaan tersebut. Permintaan itu tidak hanya disampaikan kepada pemilik biogas yang berdomisili di Ngunut, tetapi juga kepada pemilik biogas di koperasi wilayah lain yang belum tentu mengenal Pak Lasimin. Mbah Min, demikian kami biasa memanggilnya, selalu menyampaikan permintaan ini setiap bertemu dengan pengguna Biogas.
Mbah Min juga selalu menyarankan untuk menggunakan bio-slurry untuk tanaman yang dimiliki oleh user, seperti belimbing, yang menjadi andalan daerah Ngunut (rata-rata user di daerah ini memiliki tanaman belimbing). Bahkan Mbak Min bilang jika bio-slurry tidak boleh diminta maka beliau berani membeli bio-slurry kering dengan harga Rp. 100,- per kg.
Christina, MMO (Manure Management Officer) BIRU Jawa Timur, cukup penasaran dengan kebiasaan Mbah Min yang satu ini. Awalnya, Christina beranggapan bahwa permintaan ini merupakan bagian dari rencana bisnis kecil-kecilan Mbah Min setelah pensiun dari pengurus koperasi. Tetapi, dugaan ini menjadi buyar ketika hal Christina tau bahwa hingga saat ini tidak pernah sekali pun Mbah Min mengambil bio-slurry dari para pemilik yang telah memberikan persetujuannya.
“Mbah, sudah terkumpulan berapa sak bio-slurry-nya?” tanya Christina dalam satu kunjungan ke wilayah kerja KUD Sri Sedono, Ngunut
“Belum, mbak Chris” jawab Mbah Min ringan.
“Lho katanya mau ambil bio-slurry dari pemilik biogas?” tanya Christina sambil mengingatkan beberapa kalimat permintaan Mbah Min kepada beberapa pemilik biogas
Pertanyaan Christina mendapat respon berupa tawa kecil dari Mbah Min. “Lha saya memang punya rencana mau menjadi salah satu pengmpul bio-slurry untuk bahan baku pupuk organik, Mbak Chris. Tapi permintaan-permintaan saya kepada mereka sebenarnya sebagai pancingan rasa ingin tahu mereka terhadap bio-slurry. Hingga hari ini belum pernah sekalipun saya mengambil atau membeli slurry mereka. Jika mereka mulai berpikir bahwa slurry ini bernilai, harapan saya, mereka mau mencoba, dan jika sudah terbukti maka mereka akan terus memanfaatkan bio-slurry”.
Kami pun cukup terkejut dengan cara berpikir Mbah Min. Menurut Mbah Min, ini adalah strategi yang tepat bagi peternak sapi perah, untuk menggugah user agar berpikir bahwa bio-slurry ini pasti sesuatu yang bagus sehingga ada orang yang meminta bahkan berani membeli. Para peternak yang sudah terbiasa dengan berbagai inovasi dan informasi tentu akan terpancing untuk mencari tahu dan mencoba apa yang dia dengar. Maka pancingan berupa semacam permintaan dan info sekilas yang diberikan Mbah Min seperti sebuah lubang yang diharapkan akan menjadi saluran masuk awal bagi peternak untuk tahu dan mengerti nilai dan potensi bio-slurry.
Sepertinya strategi ini cukup jitu, karena saat MMO dan QI (Quality Inspection) melakukan inspeksi, dari 7 user yang dikunjungi (user ini dipilih langsung oleh QI bukan oleh Mbak Min), semuanya sudah memanfaatkan bio-slurry sebagai pupuk tanaman terutama rumput gajah.
Baiklah, Mbah Min. Kami memang harus terus belajar memahami kearifan lokal (local wisdom) untuk mendapatkan celah dan peluang untuk pelaksanaan program BIRU.
(Ditulis dan dikembangkan oleh MMO dan Provincial Coordinator Biru Jawa Timur)